
Kaki ini berjalan berjalan tanpa arah menyusuri taman kecil di tengah kota. Dengan suara petikan gitar dari seorang penyanyi jalanan yang syahdu sebagai penghibur serta belasan burung dara yang terbang ketika aku melewatinya. Pikiranku melayang, memikirkan hal yang seharusnya tak boleh kupikirkan. Jatuh cinta. Ya, aku tau itu hal wajar tak seorangpun melarang rasa itu. Tapi aku jatuh cinta dengan seorang wanita yang salah. Tapi rasa ini muncul secara tiba-tiba seperti hujan yang turun tak terduga.
“Kenapa kau meninggalkanku?” suara seorang gadis disertai tepukan kecil dipunggung berhasil menyadarkan ku. “Jahat, aku tak akan membelikanmu ice cream lagi!” kata gadis itu sambil memalingkan mukanya. Gadis itu Audrey. Sahabatku. Seorang gadis yang berhasil membuat jantungku meledak ketika didekatnya.
“Kau tidak akan membelikanku ice cream lagi?” tanyaku pada Audrey
“Tidak, tidak akan pernah! Bagaimana mugkin aku membeli ice cream sendiri sedangkan kau pergi keluyuran seorang diri!”
“Baiklah maafkan aku, aku tidak akan meninggalkanmu lagi aku janji” kataku sambil mengacak-acak poni nya.
“Janji kelingking?” kata Audrey sambil menyodorkan kelingkingnya padaku. Dan aku segera mempautkan kelingkingku pada kelingkingnya. Itu hal yang kerap kami lakukan ketika kita masih kecil dan hingga saat ini kami masih melakukannya. “Baiklah aku memaafkanmu, ini ice cream rasa coklat untukmu dan rasa melon unutkku.”
Kring kring kring . . .
Suara bel sepeda terdengar nyaring di depan rumah Audrey. Aku terbiasa dengan itu. Membunyikan bel sepedaku untuk menandakan bahwa aku sudah berada di luar dan menunggunya. Menunggunya? Menunggu dalam arti lugas dan kias.
“Pagi!” sapanya saat keluar dari rumah dengan senyuman yang sangat manis percayalah aku selalu saja meleleh ketika melihat senyumannya itu dan hal itu membuatku ingin berteriak ‘Audrey aku menyukaimu bisakah aku memilikimu’ tapi syukurlah aku tidak segila itu. “Ibu aku berangkat ke sekolah dulu!” ujarnya.
“Iya hati-hati, nak Arsha hat-hati bawa sepedanya jangan ngebut-ngebut.” kata wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu Audrey.
“Iya siap, Arsha pamit tante.” kataku dengan ramah “Cepatlah naik!” pintaku pada Audrey.
Entah kenapa rasanya sangat canggung. Aku kerap memboncengkan nya, ini bukan kali pertama tapi entah kenapa rasanya berbeda sekali. Dan lagi-lagi pikiranku melayang membayangkan hal-hal yang aneh. Haruskah aku mempercepat laju sepedaku agar ia memegang pinggangku dengan erat agar ia tidak takut. Itu murahan sekali sama seperti drama yang kulihat semalam.“
Gila!” aku bermonolog tapi sial Audrey mendengarnya.
“Siapa yang gila?”
“Emm itu anjing tetanggaku,” sungguh itu alasan yang bodoh, kini aku sadar ternyata cinta bisa membuat orang menjadi gila dalam sekejap.
Membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai kesekolah dengan sepeda. Kenapa sekolah ini begitu dekat, kenapa hujan tidak turun tadi agar aku dan Audrey bisa berteduh dan berduaan, kenapa ban sepedaku tidak kempes saja tadi. Begitulah eranganku dalam hati.
“Kau melamun? Sepertinya akhir-akhir ini kau sedang tidak baik, apa kau sakit?” kata Audrey sambil memegang jidatku dan benar benar sial aku bertindak bodoh lagi kali ini. Aku berlari begitu saja meninggalkan Audrey yang terpaku di parkiran. Entah apa yang akan dipikirkan gadis itu.
Aku berlari menuju kamar mandi berharap ia tak akan menemukanku disini. Aku berlari karena aku takut bagaimana jika ia berhasil mendengar detak jantungku yang berdetak begitu cepat. Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, ini cinta. Bahkan cinta berhasil membuat seseorang buta dan membuat seseorang terlihat bodoh adalah hal yang mudah bagi cinta.
Pelajaran matematika tak pernah membosankan seperti ini aku selalu menikmatinya tapi hari ini sungguh aku berharap agar waktu istirahat segera tiba. Tak bisakah aku sekelas dengannya agar aku lebih mudah melihatnya. Sekolah ini benar-benar payah. Apa yang sedang dilakukanya di sana, akankah Audrey bisa fokus dengan pelajarannya atau mungkinkah dia tak bisa fokus karena memikirkanku sama halnya denganku saat ini.
Jam istirahat tiba. Aku langsung berlari menuju kelasnya. Berhenti sejenak untuk merapikan tatanan rambutku. ”Kau tampan Arsha, tenanglah tak ada yang perlu kau khawatirkan,” aku mulai bermonolog lagi. Aku berjalan santai saat akan tiba dikelasnya agar terlihat seperti orang yang normal.
“Arsha, kau kenapa tadi apa kau baik-baik saja?” manik matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam dan lagi-lagi hal itu membuat hatiku luluh. Sungguh seseorang tolong bunuh aku sekarang.
“Aku hanya sakit perut, lupakan saja. Mari ke kantin.” aku langsung mengalihkan topik pembicaraan dan mengajaknya ke kantin. Berjalan berdua. Kita berjalan bagai di altar. Itu hanya khayalanku saja. Mataku tak bisa lepas dari wajahnya dan sesekali ia menoleh padaku dan membuatku menjadi kikuk. Dulu sangat mudah unutk menggandeng tangannya tapi saat ini sungguh lebih sulit daripada menyelesaikan soal matematika.
“Audrey,” aku mencoba untuk memulai pembicaraan tapi aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan sudah 10 tahun aku bersahabat dengannya dan tak pernah sekalipun aku kehabisan bahan pembicaraan tapi hari ini aku tak menemukan satu kata pun untuk aku ucapkan kemana perginya kata-kata itu mungkinkah mereka tenggelam. “Apa kau pernah jatuh cinta?” OH TIDAK. Bukan kalimat itu yang ingin aku ucapkan kenapa justru kalimat itu yang terucap. Dasar manusia bodoh.
“Apa? Kenapa kau menanyakan hal itu? Apa kau sedang jatuh cinta?”
“Iy- TIDAKK maksudku tidak aku tidak sedang jatuh cinta, kau tau aku ini laki-laki polos!” apa yang aku ucapkan tuhan ku mohon selamatkan aku.
Tiba-tiba keheningan menyergap kita. Apa yang sedang dipikirkan Audrey.
“Audrey apa kau baik-baik saja?” entah apa maksud dari pertanyaanku.
“Tentu.” Tentu dia baik-baik saja. Aku tidak punya alasan untuk khawatir. “Arsha, kau tau laki-laki yang ada disana,” kata Audrey tiba-tiba sambil menunjuk seorang laki-laki di meja pojok kantin.
“Dia, bukankah dia anak kelas XII?”
“Ya, aku jatuh cinta padanya.” kata Audrey penuh kepastian.
“APA?!” aku berteriak dan alhasil kita menjadi perhatian di kantin itu, tapi biarlah itu tidak penting. “Sejak kapan? Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku?”
“Tenanglah ini bukan masalah serius, sebulan yang lalu mungkin”
“Bagaimana aku bisa tenang ini masalah hati Audrey, oh ayolah. Kau bilang sebulan yang lalu? Itu berarti sudah lebih dari seminggu dan aku tidak tahu sedikitpun tentang hal itu?”
“Aku malu untuk bilang, dan tiba-tiba kau bicara tentang jatuh cinta kupikir ini waktu yang tepat untuk mengatakannya”
“Tidak! Ini bukan waktu yang tepat, kau tahu. Wah sungguh aku tidak tahu harus berkata apa. Ah ya mungkin aku juga harus mengatakannya padamu aku tidak bisa lagi membohongi dirimu iya aku juga sedang jatuh cinta maka dari itu aku tanyakan hal itu padamu, dan kau tau siapa orang nya?” Ia hanya menggeleng kecil. “Dia!”
“Dia? Anak kelas X?”
“Ya adek kelas kita? Kenapa? salah? Kau suka dengan kakak kelas lalu kenapa aku tidak boleh suka dengan adek kelas. Bukankah seorang perempuan harus berpacaran dengan laki-laki yang lebih tua darinya dan seorang pria harus berpacaran dengan wanita yang lebih muda darinya!”
“Tidak itu tidak salah, tapi kenapa nada bicaramu seperti membentakku?”
“Tidak, aku tidak membentakmu!”
Aku mengucapkan kalimat yang tak seharusnya ku ucapkan seperti itu mungkinkah aku mengatkan hal itu untuk membalasnya. Aku tak peduli. Aku pergi meninggalkannya karena aku tau jika aku tetap disana maka kemarahanku akan semakin meluap-luap. Aku membiarkannya berdiri mematung disana.
Jadi seperti ini rasanya patah hati. Sakit ternyata. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku menangis atau mungkin berteriak. Entahlah. Pikiranku sangat kacau.
Semenjak hari itu aku jarang menemuinya. Aku bahkan sudah tidak lagi menjemputnya untuk berangkat kesekolah. Dan akhir-akhir ini aku sering melihatnya bersama Joshua, kakak kelas yang berhasil mengisi hati Audrey. Kenapa bukan aku yang mengisi hatinya. Sepertinya mereka benar-benar sudah dekat. Jujur aku merindukannya. Sangat. Tapi aku tak punya keberanian sedikitpun untuk bertemu dengannya. Aku mencoba untuk menelephon nya tapi belum sampai nada terhubung terdengar aku sudah mematikannya. Aku bahkan berusaha berulang kali mengirim pesan singkat tapi lagi-lagi belum sampai pesan itu selesai diketik aku sudah menghapusnya dan mematikkan smartphoneku. Aku berusaha untuk melupakannya tapi sayang hatiku mengenalinya.
Saat aku menghidupkan smartphoneku tiba-tiba terdapat pesan masuk. Hatiku berdebar sangat keras mulutku seperti berjompa jampi berharap itu Audrey.
From: 085100xxxx
Hari ini gue bakal nembak Audrey, gue denger kalo lo sahabatnya. Gue minta bantuan lo pliss_Joshua
Bukan seperti ini kisah cinta yang aku harapkan. Memang, kisah cinta tak selalu seperti dongeng yang selalu berakhir bahagia. Tapi ini belum berakhir.
“Ibu, apa ibu punya sahabat laki-laki?” Tanya Audrey pada ibunya sambil tiduran di pangkuannya.
“Tentu.”
“Benarkah? jika kedua sahabat itu saling jatuh cinta apa itu salah?”
“Menurut ibu tidak, sebenarnya laki-laki dan perempuan itu tidak bisa benar-benar bersahabat pasti salah satu dari mereka ada perasaan. Ya tapi itu belum tentu benar juga ada yang bisa menjaga janji persahabatan mereka.”
Audrey mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya. Mengamati surat itu dengan penuh kebimbangan.
“Haruskah aku membantu Joshua?” pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Akankah aku menemukan jawabannya. Di film biasanya orang-orang mengorbankan perasaannya agar seseorang yang dicintainya bisa bahagia meski dengan orang lain. Ada ungkapan bahwa mencintai seseorang tidak harus memilikinya. Lalu bagaimana caraku untuk mencintainya? Hilangkan perasaan ini. Tapi hal itu tak semudah menghapus jawaban matematika di kertas dengan penghapus. Waktu tak pernah bisa berjalan sendiri ia pasti membawa perubahan untuk menemaninya. Mungkin dengan berjalannya waktu aku akan berhasil melupakan perasaanku pada Audrey. Jika aku mampu.
To: 085100xxxx
Temui aku di café dekat sekolah aku akan membantumu.
Sepertinya aku benar-benar akan melupakan perasaanku pada Audrey. Bukankah itu hal yang bagus? Sahabat akan terus menjadi sahabat kenapa aku begitu rakus. Tak perlu memiliki hubungan yang lebih untuk menjadi ksatrianya. Menjadi seorang sahabat untuk Audrey sudah cukup bagiku.
Aku melaju kencang dengan sepeda motor yang ku bawa. Sepertinya mulai saat ini aku tak akan membbutuhkan sepeda itu lagi. Dan sepertinya Joshua sudah menungguku.
“Ibu Audrey pamit, Audrey mau pergi ke rumah Arsha sebentar.”
“Tapi ini hujan, nanti saja!” cegah ibu
“Tidak apa-apa bu, ini cuma hujan air Audrey bakal baik-baik aja.” kata Audrey penuh semangat. Senyuman di diwajahnya terus mengembang entah apa yang sedang dipikirkan gadis berusia 17 tahun itu. Tapi saat ia akan keluar rumah langkahnya tertahan oleh seorang pria yang berdiri mematung di depan rumahnya. Seluruh badannya basah terkena air hujan. Tatapannya kosong.
“Kak Joshua? Masuklah kenapa hujan-hujan disitu?”
“Audrey. . .” Suara Joshua melemah
“Ada apa? Wah kau membuat jantungku berdebar dengan cepat, kenapa?” Tanya Audrey penuh penasaran. Apa yang akan diucapkan oleh lelaki didepannya itu.
“Arsha. . .” belum sampai Joshua menyelesaikan kalimatnya ia langsung berlari mendekati Audrey yang sedang kebingungan. Ia mencengkram pundak Audrey dengan kuat. Dan Joshua berusaha menceritakan sesuatu kepada Audrey dengan hati-hati. Dan seketika air mata Audrey tumpah begitu saja membasahi kedua pipinya. Dan mereka berdua pergi begitu saja menembus hujan yang sedang turun dengan lebat.
Dirumah sakit terlihat seorang pria sedang menunggu di depan pintu kamar rumah sakit dengan cemas.
“Bagaimana keadaan Arsha?” Tanya Audrey pada adik laki-laki Arsha
“Entahlah, keadaannya tidak baik kecelakaan itu membuat kakakku kehilangan banyak darah”
“Tenanglah dia akan baik-baik saja, dia itu kuat percayalah.” Audrey berusaha meyakinkannya
“Apa kakak tau, tentang perasaan kak Arsha?”
“Apa maksudmu?”
“Aku menemukan ini di saku bajunya sebelum ia masuk di ruangan itu, surat ini terjatuh. Aku membacanya dan sepertinya ini untukmu”
Aku tak tahu sejak kapan dirimu mendiami hatiku Aku tak tahu alasan hatiku berdetak ketika aku melihatmu Kebenarannya aku menyukaimu dan berharap dapat memilikimu, Audrey Aku membohongimu wanita yang berhasil membuatku jatuh cinta adalah dirimu Tapi sepertinya laki-laki yang ada di hatimu bukan aku, lalu apa yang harus aku lakukan? Aku terlanjur menempatkanmu dalam hatiku berulang kali aku mengatakan pada diriku bahwa aku tak boleh melakukan ini, aku ingin melepaskanmu tapi hatiku mengenalimu Tak bisakah kau mencintaiku?
Air matanya benar-benar tak bisa ditahannya. Kesedihannya semakin menjadi-jadi ketika sang dokter keluar dengan tatapan yang entah bagaimana menggambarkannya. Tatapan yang berusaha mengtakan ‘maaf saya gagal menyelamatkannya’. Audrey tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia berlari keluar rumah sakit dan bergabung dengan hujan. Dengan sepucuk surat yang sedari tadi ia pegang. Bukan. Itu bukan surat milik Arsha melainkan surat untuk Arsha.
Kau tau mungkin aku wanita paling beruntung didunia ini kau tau karena apa? Karena aku memiliki sahabat sepertimu Tapi seperti hujan yang datang tak terduga, aku jatuh cinta padamu lucu bukan? Menghabiskan ice cream denganmu, naik sepeda denganmu, itu hal yang manis Bahkan aku tak pernah bisa fokus dengan pelajaranku itu semua karenamu tapi ternyata Kau menyukai wanita lain, kau tahu hatiku sangat sakit mendengar hal itu Aku tak sungguh-sungguh menyukai Joshua, percayalah itu semua hanya kebohongan Tapi ternyata hal itu membuat hubungan diantara kita menjadi renggang, aku menjadi sedih karena itu. Bisakah aku mencitaimu melebihi seorang sahabat, Arsha? Ku harap kau tak keberatan akan hal itu.
Audrey
Audrey benar-benar menaangis di bawah hujan dan membuatnya menjadi bahan tontonan orang-orang tapi ia tak memperdulikannya. Hari ini ia ingin berteman dengan hujan, karena ketika air matanya mengalir air hujan juga ikut mengalir di pipinya.
“Kenapa kau meninggalkanku? Bukankah dulu kau berjanji tak akan meninggalkanku, kau ingat janji kelingking yang kita buat? Kau bohong padaku kau mengingkarinya. Aku benar-benar marah padamu. Kenpa kau membohongi diriku dan kenapa aku juga membohongi dirimu, bukankah fungsi dari persahabatan adalah membagi perasaan satu sama lain, lalu apa yang harus aku lakukan saat ini? Jika aku mengatakan aku juga mencintaimu apa kau akan kembali? Kembalilah kumohon aku juga mencintaimu aku benar-benar mencintaimu. . .” Audrey berteriak meluapkan kesedihannya bahkan dunia juga mengerti akan kesedihannya dengan datangnya hujan. Tapi tiba-tiba hujan tak lagi membasahinya bukan karena berhenti melainkan tertahan sesuatu.
“Kau biasa sakit jika seperti ini, Arsha akan semakin sedih melihatmu begini!” ujar Joshua dengan payung ditangan kirinya
“Jika aku bersedih seperti ini apa dia akan kembali?” Tanya Audrey penuh harap
“Tidak dia tidak akan kembali, aku yang akan menggantikan posisinya.” kata Joshua dengan lembut.