
Perilaku konsumtif saat ini menjadi fenomena yang sering dijumpai di masyarakat, bahkan perlahan sudah membentuk suatu budaya. Gaya hidup konsumtif adalah perilaku mengkonsumsi barang dalam jumlah besar-besaran. Perilaku konsumtif ini cenderung didasari hasrat dan keinginan sendiri, bukan didasari oleh kebutuhan.
Di era modernisasi seperti sekarang, perilaku konsumsi masyarakat tampaknya telah kehilangan hubungan dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Membeli saat ini sering kali dilakukan secara berlebihan sebagai upaya seseorang untuk mendapat sensasi, baik itu berupa kepuasan, kebahagiaan, tantangan, ataupun penghilang stress.
Perilaku konsumtif sering kali dijumpai di kalangan remaja. Tak dapat dipungkiri, masa remaja adalah masa di mana para remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka banyak mengeksplor hal baru, terutama hal sedang menjadi tren di kalangan mereka. Para remaja juga berusaha menampilkan dirinya sebaik mungkin agar mereka tidak ditolak oleh kelompoknya sendiri. Tingginya persaingan untuk mendapatkan status sosial ini membuat para remaja sering menghambur-hamburkan uangnya untuk pembelian yang tak wajar.
Belanja bagi kaum remaja bukan saja untuk memenuhi kebutuhan, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Mereka ingin kehadirannya dianggap serta dihargai oleh teman-teman sebayanya. Untuk terlihat menarik, para remaja rela mengeluarkan uang yang banyak untuk mengikuti tren busana atau aksesoris terkini. Akibatnya, para remaja tidak memperhatikan kebutuhan saat membeli barang.
Hasil penelitian terbaru yang dilakukan Epsilon mengatakan bahwa generasi Z (berusia di bawah 25 tahun) memiliki pengeluaran tertinggi di antara generasi lainnya, yaitu total $600 miliar pertahun. Penelitian lain dari Pureprofile mengidentifikasi bahwa pengeluaran terbesar dalam kategori belanja busana (fast fashion) adalah pada generasi remaja, sekitar 8%, dengan perkiraan total pengeluaran $79 tiap bulannya. Angka ini sungguh memprihatinkan, mengingat industri fast fashion telah menjamur di Indonesia, menjadi pendukung utama gaya hidup konsumtif.
Lalu, apa hubungannya dengan kerusakan lingkungan?

Sumber Gambar : grid.id
Pernahkah terlintas di pikiranmu, apa yang akan terjadi dengan sampah yang dihasilkan dari hasil belanjaan? Di mana sampah itu akan berakhir? Terutama apabila sampah itu adalah sampah plastik yang membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk terurai.
Lihat saja pengeluaran limbah yang dihasilkan di rumah kalian masing-masing tiap harinya. Mulai dari sampah dapur, sisa makanan, kulit buah, sayuran, hingga limbah sabun dan detergen. Belum lagi sampah konsumsi seperti baju, aksesoris, dan sebagainya.
Bayangkan kembali apa yang terjadi dibalik proses produksi untuk menghasilkan barang-barang yang kalian konsumsi; mulai dari pakaian dan aksesoris lainnya seperti tas dan sepatu. Tingginya permintaan suatu barang akan memicu pelaku industri untuk lebih banyak menggenjot produksi barang tersebut. Produksi secara besar-besaran akan menghasilkan emisi karbon yang besar pula. Emisi karbon inilah yang akan menyebabkan pemanasan global.
Kegiatan produksi pasti akan menghasilkan limbah. Permasalahannya adalah industri di Indonesia belum sepenuhnya memiliki tempat pengelolaan limbah yang baik dan ramah lingkungan. Pengelolaan limbah yang tak bertanggung jawab menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama industri skala kecil yang limbahnya seringkali dibuang langsung ke laut. Lautan kita perlahan menjadi tempat pembuangan limbah raksasa. Menurut para ilmuwan, 1,2 juta ton plastik memasuki lautan setiap tahun, membentuk tumpukan sampah raksasa yang mengapung di seluruh dunia.
Hal-hal diatas hanya secercah gambaran tentang bagaimana perilaku konsumtif dapat merusak lingkungan. Pembahasan ini belum sampai pada kelamnya industri-industri perusak lingkungan yang tentunya akan jauh lebih mengerikan.
Memang benar adanya, bahwa kerusakan alam akibat dari ulah manusia itu sendiri. Maka dari itu, mari sayangi bumi dan mulai perlahan-lahan untuk mengurangi konsumsi berlebih.