
Menurut statistik data dari Kementrian Budaya dan Pendidikan Indonesia memiliki total warisan budaya sejumlah 1.239 per tahun 2021. Namun kenapa gaya desain bangunan yang sering kita jumpai kebanyakan memakai gaya ala Eropa, Jepang, Korea, dan negara lainnya terutama di tempat wisata? Fenomena ini dikenal dengan istilah disneyfication.
Apa Itu Disneyfication

sumber : padek.jawapos.com
Disneyfication merupakan bentuk simplifikasi dan menghilangkan konteks suatu hal agar lebih ideal dan bisa dinikmati secara massal demi keuntungan profit. Contoh disneyfication yang paling sering kita jumpai yaitu replika menara Eiffel.
Di Indonesia sendiri sudah ada 5 replika menara Eiffel yang dapat dijumpai di Jogja, Purwokerto, Batu, Palembang, dan Boyolali yang dibangun dengan tujuan pariwisata. Tidak berhenti di Paris, landmark Singapura, Brazil, Inggris, Italia semua replikanya dapat ditemukan dengan mudah di tempat wisata di Indonesia.
Bangunan budaya asing yang dibangun hanya dengan meniru fasad dan elemen estetikanya serta tidak sesuai dengan situasi kondisi sekitarnya dapat menciptakan bangunan yang terlihat asing dan tidak harmonis.
Bahkan hal ini bahkan bisa mengarah ke cultural appropriation yakni penggunaan elemen budaya yang tidak menghormati makna aslinya. Selain itu suatu tempat akan kehilangan nilai autentik dan identitas mereka apabila menepiskan budaya lokalnya.
Penyebab Disneyfication

Sumber : Ticmpu.id
1. Globalisasi
Penyebab utama dari fenomena disneyfication ini adalah globalisasi. Globalisasi memperkenalkan kita kepada dunia luar, budaya asing, hal yang sedang nge-trend sehingga mempengaruhi preferensi kita.
Media sosial yang menjadi panggung ajang eksistensi diri mendorong keinginan orang untuk mendapatkan validasi dan persepsi positif dari hasil berfoto di lokasi yang secara umum dinilai estetik ini, untuk menjadi trendy dan up to date.
Developer pun melihat ini sebagai kesempatan untuk memuaskan keinginan masyarakat dengan menghadirkan replika bangunan luar negeri yang terjangkau dari segi jarak dan biaya.
Oleh karena itu tempat wisata yang cenderung sering dikunjungi dan dicari oleh masyarakat mungkin berupa taman yang memiliki replika menara Eiffel yang bersebelahan dengan kincir angin ala Belanda dengan pintu masuk berbentuk torii.
Untuk mengurangi disneyfication kita perlu mulai lebih mengapresiasi budaya. Tetapi mengapa kita tidak merasa tertarik dengan budaya kita sendiri dan merasa budaya asing lebih keren? Pertama, representation matter!
Representasi media terutama pada era kejayaan media sosial ini menjadi salah satu sumber acuan orang dalam menilai sesuatu. Lalu media sosial lebih didominasi oleh komunitas dari Amerika, Eropa, Korea, Jepang, dan negara lain yang sering kita kagumi.
Tidak hanya media sosial, media hiburan lain seperti dunia perfilman, buku dan musik yang kita konsumsi didominasi oleh media asing. Sehingga lama kelamaan kita lebih mengenal dan merasa familier dengan budaya mereka dan ingin merasakan pengalaman serupa yang kita saksikan.

Sumber : Nowbali.co.id
2. Acuan Budaya Luar
Hal kedua yakni kebiasaan sehari-hari melihat dan merasakan budaya kita sendiri dari lahir hingga dewasa. Sehingga ketika rekreasi kita ingin ke suatu tempat yang berbeda, yang memberi kesan ‘wah’, dan membuat kita merasakan pengalaman baru. Namun siapa bilang lokasi wisata dengan gaya lokal tidak sama kerennya dengan gaya luar?
Contohnya Starbucks Reserve Dewata. Salah satu gerai Starbucks terbesar di Asia Tenggara ini mengaplikasikan gaya lokal budaya Bali dan tetap terlihat ‘wah’.
Penggabungan unsur modern dan tradisional dalam interiornya sangat baik. Sehingga tempatnya tidak kehilangan makna dan nilai autentik sambil tetap trendy atau malah lebih baik, timeless.
Masalah sosial ini sangat berpengaruh terhadap persepsi dan cara pandang kita terhadap budaya bangsa.
Misal adanya konstruk sosial dimana secara tidak sadar kita merasa budaya barat lebih superior dibanding budaya kita. Atau bahkan terkadang kita baru menyadari dan mengapresiasi budaya kita ketika divalidasi dan diapresiasi dulu oleh orang luar yang menurut kita lebih superior.
Oleh sebab itu sesuai dengan pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’, sangat penting bagi kita untuk mengenal langsung budaya dan sejarah lokal. Tujuannya agar muncul rasa kepedulian dan apresiasi.
Ketika ada kepedulian dan apresiasi kita bisa merancang tempat yang menonjolkan identitas asli kita dan menjadi lebih autentik! Ketika hal ini bisa terwujud siapa lagi yang akan bangga kalau bukan kita sendiri?