
Empati, sudah begitu sering kita mendengar kata tersebut, dalam tulisan di artikel, perbincangan podcast, maupun overheard pada pembicaraan sehari-hari dan interaksi sosial. Mungkin secara pandangan awam empati merupakan, aksi turut merasakan apa yang diderita oleh orang lain. Apakah benar begitu ya kira-kira?
Lalu, apa sih arti kata empati?
Menurut Hurlock (1999:118), ”That empathy is the ability to understand other people’s feelings and emotions and the ability to imagine their self in the perspective of other people.” Terjemahan secara tidak bakunya, bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan emosi orang lain dan kemampuan untuk membayangkan diri mereka dalam perspektif orang lain. Sehingga empati bisa dikatakan memahami sesuatu lebih mendalam, tidak hanya sebatas pada turut merasakan saja, namun pemahaman terhadap sesuatu, yang berujung pada tindakan yang meringankan beban si penderita, membuat keadaannya menjadi lebih baik.
Berdasarkan pengertian diatas, maka empati menjadi penting untuk selalu ada di setiap aspek kehidupan, alangkah baiknya apabila kita juga bisa mengasah rasa empati, terhadap diri kita, orang lain, maupun mahkluk hidup lainnya.
Selama kurang lebih 10 tahun merasakan pengalaman kerja, di tempat yang berbeda-beda, saya menyadari bahwa empati adalah suatu hal yang langka, sulit ditemukan.
Kenapa Bisa Seperti Itu?

Sumber Gambar : suara.com
Hal ini saya rasakan secara pribadi, ketika bertemu dengan banyak orang di lingkungan kerja, baik dari hirarki yang paling tinggi hingga yang terendah. Observasi selama masa saya bekerja, mengerucutkan pada persepsi bahwa semakin tinggi pendidikan dan jabatan seseorang pada sebuah institusi, tidak menjamin orang tersebut memiliki kemampuan untuk berempati, atau mau mengasahnya.
Individu-individu yang memegang tampuk kekuasaan, tanggung jawab sebagai leader sangat diharapkan untuk dapat mengamalkan ilmunya dan membangun sisi kebijaksanaannya. Namun, hal yang sering kali dijumpai adalah sebaliknya. Marah-marah membabi buta, apabila inferior tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkannya. Menyalahkan anak buah didepan umum, hingga membawa ketegangan ditengah meeting.
Memang benar, suasana kerja yang 100% ideal nyaman itu tidak akan pernah mungkin terjadi setiap waktu. Karena gesekan-gesekan dalam dunia bekerja itu adalah hal yang normal terjadi. Namun, apabila ini terjadi hampir setiap harinya, tentu membuat suasana kerja tidak akan pernah nyaman.
Sehingga membuat lingkungan kerja menjadi toxic dan berpengaruh pada tingginya angka turnover karyawan. Banyaknya pegawai yang tidak kerasan, seharusnya menjadi cerminan insitusi tersebut. Saya ingat betul, ketika bangun pagi dan harus berpikir keras tentang, kesalahan apa lagi ya? Yang nanti akan saya perbuat. Hal apalagi ya? Yang membuat si bos marah besar, pergi ke kantor seperti momok yang menakutkan bagi saya pada waktu itu.
Memang harus diakui, menjadi seorang pemimpin atau pengambil keputusan adalah tanggung jawab yang besar. Namun, sebuah institusi dapat berjalan dengan baik, karena ada campur tangan anak-anak buah dan anggota-anggota lainnya yang bekerja disitu.
Menjadi pemimpin tidak hanya mempertontonkan kemolekan hard skill, melainkan perlu dilengkapi juga dengan soft skill, yaitu salah satunya empati. Dimana para pemimpin bisa memanusiakan para manusia yang bekerja didalamnya, serta belajar untuk berjalan disepatu orang lain.
Bayangkan lingkungan kerja akan terasa lebih menyenangkan apabila hubungan antara superior dan inferior harmonis, karena menanamkan empati didalamnya.
Pada akhirnya…
Sumber Gambar : Yahoo.id
Sangat tidak salah dan sia-sia untuk mengasah kemampuan empati dan berbuat baik kepada sesama. Mengutip Mayo Clinic Health System, Jumat (29/05/2020) dari artikel yang dipublikasikan dalam The Art of Kindness.
Melalui terjemahan tidak baku disebutkan, ”Kebaikan telah terbukti meningkatkan self esteem, empati dan kasih sayang, dan meningkatkan suasana hati. Ini dapat menurunkan tekanan darah dan kortisol, hormon stres, yang secara langsung berdampak pada tingkat stres. Hal ini juga membuat Anda menjadi lebih sehat dan umur panjang.
Kebaikan dapat meningkatkan rasa keterhubungan Anda dengan orang lain, terutama berdampak langsung dengan Anda yang merasa kesepian. Melakukan kebaikan dapat memperbaiki suasana hati yang buruk, dan meningkatkan hubungan baik secara umum.”