Film, Animasi & Video

Wong Kar Wai Legenda Sineas Hongkong dan 3 Filmnya yang Perlu Kamu Tonton

Wong Kar Wai adalah salah satu nama sutradara Hong Kong yang terkenal di Indonesia. Banyak anak-anak muda yang jatuh cinta pada film-filmnya. Tapi sebenarnya, karya Wong Kar Wai sendiri tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sinema di Hong Kong! Dan, jangan salah, sebelum film-film Wong Kar Wai, sudah banyak loh film asa Hong Kong yang tayang di televisi Indonesia.

Film Hongkong di Indonesia

Sempat ada masanya nih, film asal Hong Kong begitu sering hilir mudik di televisi Indonesia. Sebut saja Drunken Master (1978), Police Story (1985), Mr. Vampire (1985),  God of Gamblers (1989), Once Upon a Time in China (1991), dan Shaolin Soccer (2001). Dari sana masyarakat Indonesia punya kenangan akan bintang film seperti Jackie Chan, Sammo Hung, Chow Yun Fat, Andy Lau, Jet Li, dan Stephen Chow.

Namun, sosok pertama yang melejitkan perfilman Hong Kong ke level internasional adalah Bruce Lee. Aksinya dalam The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), Way of the Dragon (1972), dan Enter the Dragon (1973) membuat industri film Hong Kong identik dengan seni bela diri kung-fu. Pamor film The Big Boss menebarkan demam sepatu kung-fu di kalangan remaja Indonesia era 1970-an. Hingga kini, sepatu itu sering disebut sebagai sepatu Big Boss.

Memasuki akhir era 1970-an, penonton bioskop di Hong Kong mengalami penurunan jumlah yang cukup serius. Kepopuleran televisi jadi sebabnya. Demi menemukan solusi, kebanyakan studio film berinovasi. Mengingat tengah terjadi pertumbuhan ekonomi, banyak orang kaya baru bermunculan. Mereka ini bersedia menyisihkan kekayaan untuk berinvestasi di industri film. Oleh karena itu, sekitar 30-40 sutradara baru lahir pada periode 1979-1980.

Secara teknis, film-film para sutradara baru ini lebih unggul daripada sang pendahulu loh. Mereka juga lebih kontemporer secara gaya dan tema karena terpengaruh budaya Barat. Contoh-contohnya adalah The Secret (1979) oleh Ann Hui, The Butterfly Murders (1979) oleh Tsui Hark, The Sword (1980) oleh Patrick Tam, dan Father and Son (1981) oleh Allen Fong. Gelombang pendatang baru ini disebut sebagai Hong Kong New Wave.

Sayangnya, meski sukses mengeksplorasi isu sosial secara kreatif, tidak semua film-film New Wave sukses secara komersial. Mulai tahun 1986, mayoritas sumber pendanaan film Hong Kong berasal dari tiga perusahaan: Golden Harvest, Golden Princess, dan D&B Company. Mereka juga mengontrol proses produksi dan distribusi. Dampaknya, kebebasan New Wave dalam berkreasi tanpa memikirkan aspek komersial berumur pendek.

Pada pertengahan era 1980-an, Hong Kong Second Wave mulai terbentuk. Para sutradara Second Wave lebih memikirkan aspek komersial sebuah film, namun tetap mempertahankan kepekaan sosial ala New Wave. Beberapa sutradara dari New Wave, di antaranya Ann Hui dan Tsui Hark, menjadi bagian Second Wave bersama wajah-wajah baru seperti Mabel Cheung, Clara Law, dan Wong Kar Wai. Nama terakhir akan jadi bahasan kita kali ini!

Wong Kar Wai dan Perjalanan Kariernya

“Tidak banyak sutradara yang mampu menyampaikan rasa sakit dan derita karena cinta dengan cara yang menggoda seperti Wong Kar Wai. Film-filmnya adalah simfoni menakjubkan, perpaduan dari emosi tak terucapkan dan hasrat tersembunyi yang tersimpan jauh dalam diri kita,” tulis Ann Lee, seorang jurnalis film dan musik, di laman British Film Institute.

Wong Kar Wai lahir di Shanghai pada 17 Juli 1958. Ayahnya seorang pelaut, ibunya seorang ibu rumah tangga. Ia anak terakhir dari tiga bersaudara. Ketika ia berusia lima tahun, ancang-ancang Revolusi Kebudayaan prakarsa Mao Zedong terjadi di Cina. Oleh sebab itu, ia bersama orang tuanya pindah ke Hong Kong yang dikuasai oleh Inggris. Sayang, kedua saudaranya gagal menyusul karena perbatasan kedua wilayah terlanjur ditutup. Mereka baru bertemu kembali sepuluh tahun kemudian.

Saat kecil nih, Wong Kar Wai seringkali diajak ke bioskop oleh ibunya untuk menyaksikan beragam film. “Satu-satunya hobiku saat kanak-kanak adalah menonton film,” jelasnya dalam wawancara dengan Bomb Magazine. Ketika mulai bersekolah, ia tertarik dengan desain grafis dan selesai mengenyam pendidikan untuk bidang tersebut di Hong Kong Polytechnic pada tahun 1980.

Usai lulus kuliah, Wong Kar Wai mendapat kesempatan magang di Television Broadcasts Limited (TVB). Di sana ia mempelajari proses produksi media. Tak lama setelah itu, ia memulai karir sebagai penulis naskah serial televisi dan opera sabun sebelum beranjak ke naskah film. Saat menulis naskah film arahan Patrick Tam yaitu  Final Victory (1987), Wong Kar Wai perlu waktu dua tahun. Hasilnya manis, ia masuk dalam nominasi Best Screenplay di 7th Hong Kong Film Awards.

Di tahun bersamaan dengan perilisan Final Victory, Wong Kar Wai menerima tawaran dari perusahaan independen, In-Gear, untuk mengarahkan filmnya sendiri. Mengingat kala itu film bertema gangster tengah laris di Hong Kong, ia menempuh jalan yang sama. Bedanya, ia memilih untuk fokus mengangkat kisah gangster muda. Maka terjadilah As Tears Go By (1988).

Hingga kini, Wong Kar Wai telah menyutradarai sepuluh film layar lebar. Selain As Tears Go By (1988), masih ada yang lain seperti Days of Being Wild (1990), Chungking Express (1994), Ashes of Time (1994), Fallen Angels (1995), Happy Together (1997), In the Mood for Love (2000), 2046 (2004), My Blueberry Nights (2007), dan The Grandmaster (2013).

Rekomendasi Film Wong Kar Wai

Kalian sudah pernah menyaksikan karya Wong Kar Wai? Jika belum, ini tiga rekomendasi kami:

1. Days of Being Wild (1990)

Wong Kar Wai

Adegan di film Days of Being Wild (sumber: letterboxd.com)

Setelah merilis As Tears Go By, Wong Kar Wai memilih untuk menjauh dari tren film Hong Kong yang berkisar di sekitar dunia kriminal. Karena ingin mengembangkan proyek yang lebih personal ketimbang film sebelumnya, ia memilih era 1960-an sebagai latar waktu. Sebuah era yang ia kenal dan kenang dengan baik. Hasilnya adalah Days of Being Wild.

Pemeran dalam Days of Being Wild adalah aktor dan aktris top Hong Kong. Mulai dari Leslie Cheung, Andy Lau, Maggie Cheung, Carina Lau, Jacky Cheung. Sayangnya, dengan jajaran pemain ternama seperti itu, film ini tergolong gagal secara komersial. Meski begitu, para kritikus menilai film ini sebagai salah satu karya terbaik Wong Kar Wai.

Days of Being Wild berfokus pada karakter Yuddy (Leslie Cheung), seorang lelaki tampan yang terkenal karena mencuri dan menghancurkan hati perempuan. Lizhen (Maggie Cheung) adalah korban pertama Yuddy. Akibat perilaku Yuddy, Lizhen menderita depresi secara emosi dan mental. Lizhen kemudian menemukan pelipur lara dari seorang polisi penuh belas kasih bernama Tide (Andy Lau).

2. Chungking Express (1994)

Film Wong Kar Wai

Adegan di dalam film Chungking Express (sumber: medium.com/Ashley Naftule)

Wong Kar Wai memang punya reputasi sebagai maestro film romantis melankolis, tapi ia tetap punya selera humor yang mampu membuat penonton tertawa. Buktinya adalah Chungking Express. Film ini dibuat hanya dalam waktu enam minggu saat ia tengah berhenti sejenak dari produksi film lainnya, Ashes of Time.

Tanpa diduga, film ini membuat Wong Kar Wai mendapat perhatian internasional. Salah satu penggemar berat Chungking Express adalah sutradara ternama, Quentin Tarantino. Saking sukanya, Tarantino sampai menyebarkan film tersebut di Amerika Serikat lewat perusahaan distribusi filmnya, Rolling Thunder Pictures.

Chungking Express terdiri dari dua cerita, masing-masing mengenai polisi Hong Kong yang putus cinta. Dua polisi diperankan oleh Takeshi Kaneshiro dan Tony Leung, sementara perempuan yang membuat perhatian mereka teralih adalah pengedar narkoba misterius (Brigitte Lin) dan pelayan toko makanan (Faye Wong).

3. In The Mood for Love (2000)

rekomendasi film Wong Kar Wai

Adegan di dalam film In The Mood for Love (sumber: filmcomment.com)

Mungkin banyak penggemar Wong Kar Wai yang menjadikan Chungking Express sebagai film favorit. Namun, In the Mood for Love adalah karyanya yang paling banyak mendapat pengakuan internasional. Film ini berada di posisi kedua dalam daftar 100 Greatest Films of the 21st Century buatan BBC pada tahun 2016, hanya kalah dari Mulholland Drive.

Proses produksi In the Mood for Love memakan waktu lama loh: dua tahun. Wong Kar Wai sempat merencanakan judul dan proyek yang berbeda sebelum hasil akhirnya berwujud sebuah melodrama romantis yang berlatar waktu pada era 1960-an. Film ini kerap dianggap sebagai sekuel dari Days of Being Wild.

Dengan mereplika suasana 1960-an sesuai ingatan masa kecil Wong Kar Wai, In the Mood for Love memanjakan indra penglihatan setiap penonton lewat pemilihan kostum dan desain set yang indah serta pengambilan gambar yang memikat. Begitu pula aksi Tony Leung dan Maggie Cheung sebagai dua tetangga yang sama-sama ditinggal selingkuh pasangan masing-masing. Nah, bagaimana? Tertarik menonton karya-karya Wong Kar Wai?

About author

Related posts
Film, Animasi & Video

Izin Usaha Perfilman Terbaru, Kamu Wajib Tahu

Film, Animasi & Video

Setelah Pulang Kerja, Nonton 5 Serial Korea Ini Bisa Menghilangkan Stress Dan Lelah Kamu!

Film, Animasi & Video

Tips Membuat Video Unboxing Super Mudah

Film, Animasi & Video

Tips Membuat Konten dengan Green Screen Biar Hasilnya Makin Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *