Cerpen

Hilang Jerat

Prisoner Minimal Music Album Cover Art

HILANG JERAT

 

Renungan ini bermula pada malam ulang tahun ke-18 ku, saat dimana akhirnya aku lepas dari jeratan rencana, bayangan, dan pandangan orang sekitar. Mungkin bagi orang lain, lepas dari suatu jeratan merupakan hal yang sangat diimpi-impikan. Namun untukku, aku kehilangan kehidupan. Jika aku menelusuri kembali masa kecilku, rupanya sejak saat itu diri ini sudah dipenuhi jeratan rencana keinginan para manusia. Tetapi rasanya terlalu egois untuk menyebut ini sebuah jeratan. Karena aku pun ragu, apakah ini benar jeratan manusia atau aku yang memang tidak punya nyawa hingga menyerahkan diri pada dunia. 

Sejak kecil, aku selalu menjadi seorang anak yang dibuat bingung akan keadaan. Seorang anak, yang tidak pernah mengerti bagaimana harus berperilaku di atas keinginan sendiri. Aku ingat kala itu orang tuaku yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, meminta saudara jauhku untuk mengurus keperluan rumah, dan menjagaku. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan mbak Sar. Kedua orang tuaku memang memiliki sifat yang keras,  dan mungkin karena tuntutan pekerjaan yang berat, keduanya menjadi sangat mudah tersulut emosi. Saat itu rasanya rangkaian teriakan kata kasar selalu memenuhi atap rumahku. Hal inilah yang kurasa membuat mbak Sar juga  menjadi berhati-hati untuk tidak menyulut emosi keduanya. Aku mencoba mengerti akan hal itu. Namun, ia justru membuatku perlahan melahap diriku sendiri. Mbak Sar sering mengingatkan untuk tidak menceritakan suatu apapun kepada orang tuaku, apapun kisahnya ia akan selalu mengatakan “Ojo cerito neng mama-papa. Menengo ae,” ancamnya. Jangan cerita-cerita ke mama, papa. Diam saja. Kurang lebih begitu perintahnya. Akupun selalu mengiyakan karena aku tidak ingin melihat orang tuaku marah. Sejak itu, aku mulai menyembunyikan semuanya. Baik rangkaian cerita receh anak sekolah dasar, hingga riwayat yang cukup mengkhawatirkan bagi anak seumuranku. Segala kisah hidup sejak mengapa aku melukai daguku, berapa kali aku sakit perut, bagaimana ujianku, seperti apa teman sekolahku, dan apa yang dilakukan seorang guru padaku, aku menyimpan semuanya sendiri. Loh, kenapa tidak cerita ke mbak Sar saja? Sayangnya, meskipun ia melarangku untuk bercerita pada orang tuaku, ia juga tidak memberikan wadah untukku bercerita kepadanya dengan nyaman. Segala rekam kisah yang kuceritakan hanya akan diacuhkan, diejek, dan dimarahi. Tidak peduli apa yang kulakukan, akan selalu terlihat salah di matanya. Contohnya saja, pada perlakuan recehku yang mengelus kepala seorang anak kecil tetangga sebelah rumahku, mbak Sar dengan raut wajah kesal memarahiku dan berkomentar “kemlinthi eram dadi wong,” sok banget sih jadi orang, hardiknya. Aku banyak memikirkan hal ini sejak dulu, apakah memang segala hal yang kulakukan benar salahnya atau dia yang tidak pernah menyukaiku. Adapun hubunganku dengan orangtua juga tidak dekat. Kami jarang berinteraksi. Pada masa itu, amukan kemarahan dengan serentetan kata kasar lebih menggema terdengar dibanding sunyinya kedamaian. Repetisi atas sikap yang setiap hari ditujukan padaku, beserta ocehan, amarah, dan komentar pedas yang menghantui keseharian membuat aku tidak bisa bersikap sebagaimana adanya diriku,  aku selalu merasa orang-orang mengawasi setiap tindakan yang kulakukan. Tiada ada hari tanpa rasa takut dan gelisah dalam hidupku, menyesakkan. Menerima semua tekanan ini, aku berusaha keras untuk dapat menghindari segala yang biasa terjadi padaku, sehingga yang kutangkap di otakku pada saat itu ialah bahwa dengan berdiam diri, dan mengikuti apa yang diperintahkan orang lain merupakan cara bagiku untuk bisa hidup dengan tenang dan terhindar dari komentar serta amarah orang lain. 

Pada perjalanan selanjutnya, aku tetap hidup dengan prinsip tersebut. Bertindak dalam diam, namun apa yang orang lain inginkan dariku, aku akan berusaha memberikannya. Aku tidak pernah memasang target untuk nilai ujianku, saat guru mengatakan harapannya agar satu kelas mendapat nilai diatas 90, aku berusaha meraih nilai itu. Begitu pula ketika pak Wahyu melihat potensi kemampuan atletik di dalam diriku, lalu memintaku untuk bergabung dalam kompetisi kota, aku pun berusaha mewujudkannya. Semua berjalan dengan tuntunan dan tuntutan orang lain. Namun, masalah selanjutnya adalah berada di masa kecil yang selalu disalahkan, membuatku kian tersesat dalam kehidupan sosial. Aku buta akan bagaimana harus bersikap kepada orang lain. Saat kupikir aku hanya perlu diam, rupanya itu tidak cukup. Orang lain terus mencoba berinteraksi denganku. Lalu bagaimana aku harus bersikap? Dalam kehidupan sehari-hariku saja, apapun yang kulakukan sering kali disalahkan. Apa aku bisa bermain dengan teman sebayaku? Disinilah, aku mulai menjadi pemerhati. Aku melihat bagaimana orang lain bersikap, bagaimana raut wajah  yang harus ditunjukkan saat orang lain menghadapi kesulitan, kalimat apa yang harus kuucapkan dalam situasi tertentu, bagaimana reaksi yang harus ditunjukkan saat mengetahui kesenangan orang lain, aku memperhatikan dan mulai menerapkannya pada keseharianku. Namun aku tidak benar-benar paham akan perasaan itu, aku hanya menyalin ekspresi dan sikap orang sekitarku. Aku berani menjamin semua orang yang mengenalku tidak benar-benar tahu tentangku. Mereka hanya melihat topeng yang kugunakan. Hal ini terus berlanjut hingga aku duduk di bangku sekolah menengah. Prinsip berdiam diri, mengikuti apa yang diperintahkan orang lain, dan menyalin sikap orang lain ternyata mengantarkanku pada dianugerahkannya gelar anak teladan sekolah dan tangan kanan guru di pundakku. Meskipun terlihat nyaman, kenyataannya tidak begitu. Kehidupan sosialku masih di ambang jurang. Aku yang saat itu mendapatkan seorang kawan baik, harus melalui tekanan, ketakutan, dan kegelisahan yang parah sekali lagi. Mungkin karena keseharianku yang dingin, saat akhirnya aku memiliki kawan yang sering bersamaku, kami dianggap menyeleweng secara etika dan norma. Nama kami tercemar oleh anggapan tak berasal mereka. Tidak sampai disitu saja, mereka pun menyebarkan fitnah tersebut ke seluruh penjuru sekolah. Semua orang di sekolah kami mulai beranggapan yang tidak-tidak terhadap kami, disertai dengan tatapan sinis tiap kali melihat satu diantara kami atau ketika kami bermain bersama. Kenapa aku selalu menjadi orang yang disalahkan? Kalian semua berkawan dengan cara dan sikap yang sama, tetapi hanya aku yang salah? Tak ada hentinya kuhardik kejamnya dunia ini. Milyaran manusia hidup didalamnya, mengapa aku yang menjadi objek cemooh kalian. Haruskah melihatku selalu terpuruk untuk kalian dapat menjadi bahagia? Pada akhirnya kawan baikku memutuskan untuk meninggalkan sekolah, dan aku sendiri yang menanggung semua cacian, tatapan, dan fitnah yang semakin tak terbendung penyebarannya. Masa itu menjadi masa yang sangat menyedihkan bagiku. Kukira prinsip  yang kupegang akan membuatku berhasil, aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi, aku dapat terhindar dari amarah atau komentar orang lain, dan berhasil diterima oleh lingkungan sekitarku. Ternyata itu hanya manisnya imajinasi, semua kembali ke awal. Aku, kesendirian, dan kejamnya dunia. Hal baik yang terjadi setelah itu adalah bahwa aku dapat melalui hari-hari kejam tersebut meskipun harus kuseret kakiku. Kulewati ratusan hari dengan membuat paras baja, menulikan telinga, dan membutakan mata. Orang tuaku tiada pedulinya pada apa yang terjadi, dan bagaimana masalah tersebut mempengaruhi diriku. Satu yang pasti yaitu luapan kemarahan mereka yang tidak lupa diarahkan kepadaku, mereka menganggapku lemah karena menangisi hal semacam ini, alih-alih menenangkan, mereka kian menuntutku untuk menyelesaikan studiku dengan baik. Alhasil, yang pada akhirnya masih kumiliki hanyalah tuntutan orang-orang terhadapku. Baik dari orang tua, maupun jajaran guru sekolah. Entah bagaimana, aku masih mendapat banyak kepercayaan dari para guru bahkan setelah kejadian tersebut. Aku kembali dicalonkan guru untuk menjadi ketua OSIS, dan berhasil mendapatkan jabatan tersebut. Lagi-lagi, semua berjalan dengan tuntunan dan tuntutan. Lepas dari bangku sekolah, besar harapanku untuk menjadi bebas. Sayangnya, justru masalah sebenarnya terjadi ketika aku kehilangan semuanya. Semua tuntunan dan tuntutan itu, yang terbang bersamaan dengan kelulusanku, di usia ke-18, kala perjalanan baru siap menemui langkahku. Kuliah.

Bangku perkuliahan merupakan awal aku menyadari bahwa perjalanan yang selama ini kulalui, aku tidak benar-benar merasakannya. Semua seperti mengawang. Aku menginjak, namun tiada kudapati jejak, aku terjun di dalamnya namun tak merasakan segar airnya, bahkan udara yang saat itu kuhirup tidak kurasakan semilir lembutnya. Asing. Terlalu dingin disini. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak ada lagi tuntunan dan tuntutan manusia terhadapku. Separuh diriku mengatakan aku harus bergerak ke depan, namun separuh lainnya menolak berkedok tidak tahu untuk apa dan untuk siapa aku harus bergerak. Tuntutan itu sudah hilang, lalu kenapa kamu terburu-buru kedepan? Disini saja, berjalan bersama air. Pergolakan itu tak ada hilang-hilangnya dari pikiran. Berperang tiada henti dan membuat diri ini merasa benar-benar kehilangan nyawa.  Orang lain bergerak dengan kompasnya sendiri, mereka membuat target, mereka berproses, dan menuai hasilnya sendiri. Namun aku merasa tidak pantas bagiku untuk bergerak demi diriku sendiri. Disinilah mulai kupahami bahwa diriku, jasad dan rohani ku, bukan lah milikku seutuhnya. Kurasa hanya kumiliki sepuluh hingga lima belas persen dari seluruhnya. Sisanya, aku hidup sebagai boneka orang lain. Aku digerakkan, diarahkan untuk mewujudkan keinginan orang lain, untuk membahagiakan orang lain. Bukan diriku sendiri. Merekalah yang memilikiku, bukan aku. Apa itu kebebasan yang selama ini kuinginkan? Aku malah semakin tidak tahu siapa aku, mengapa aku disini, bagaimana aku harus menjalani hidupku? Aku merasa lelah, sedangkan aku tiada melakukan suatu apapun, aku merasa tersiksa sedang saat ini tidak ada yang menekan, perasaan ini asing, ada yang tidak benar rasanya. Zombie, tidak hidup namun masih berjalan. Kurasa ia representasi yang paling sesuai dengan keadaanku.  

To fall in love with yourself is the first secret to happiness” -Robbert Morley. Jatuh cinta pada diri sendiri adalah rahasia pertama menuju kebahagiaan. Melalui sebuah situs sosial media aku membaca kalimat tersebut. Happiness, bahagia. Apa itu sebenarnya? Selama ini aku terlalu sibuk menyalin reaksi orang lain tanpa benar-benar mengetahui bagaimana rasanya. Jatuh cinta pada diri sendiri? Bagaimana bisa? Saat itu kurasa kalimat ini terdengar aneh, namun menggelitik. Aku tergerak untuk mendalami lebih jauh. Kuhabiskan jam, hari, hingga minggu mencari informasi mengenai hakikat mencintai diri sendiri, dan bagaimana aku bisa mulai melakukannya. Ketika mempelajarinya, banyak hal samar yang akhirnya menemukan titik temunya. Kulucuti diriku, dan kudapati bagaimana self-awareness, self-worth, self-esteem, dan self-care yang ada diriku sangat rendah. Aku tidak mengenali diriku dengan baik, tidak menghargai betapa pentingnya keberadaan diriku, tidak mengetahui apa yang kumiliki, bahkan tidak merawat kesehatan fisik dan batinku dengan baik. Aku kehilangan diriku selama ini. Maka, ku mulai perjalanan awalku mencari siapa diriku dan seperti apa diriku yang sebenarnya. Aku mulai melepaskan semua perasaan. Amarah, sedih, tangis, tawa, bahagia, kecewa, kulepaskan semua seraya menelaah bagaimana rasanya, reaksi yang dulu kala ku salin dari orang sekitar perlahan kupahami bentuk dan rasanya. Begitu juga dengan apa yang ada di dalam diriku, apa kekuatan dan kelemahanku dan bagaimana aku harus menghargainya. Aku juga mulai membentuk habit baru, yaitu berolahraga dan merawat wajahku sebagai bentuk penghargaan pada diberikannya jasmani yang utuh oleh Tuhan Yang Maha Esa. Perlahan aku merasakan bagaimana pentingnya setiap unsur yang membentuk diriku. Kuurai isi pikiran dan batinku, perlahan kulepaskan semua yang mengganjal, membentuk berbagai kalimat afirmasi pada diri sendiri, dan mulai membuka diri pada orang lain. Bertukar kisah untuk saling dipelajari, merasakan bagaimana perasaan yang selama ini tidak benar-benar kuenyam kini dapat keluar dengan sendirinya. Diriku akhirnya terbentuk, aku yang kini mengenal diriku, yang menghargai tiap sudut dari diriku, yang tidak takut atau malu pada apa yang pernah terjadi, karena mereka adalah bagian dari diriku yang kini berhasil membangunku.

“In order to love yourself, you can’t hate the experiences that shaped you,” untuk mencintai diri sendiri, Anda tidak bisa membenci pengalaman yang membentuk anda. -Andrea Dykstra. 

Terakhir, “She remembered who she was, and the game changed” -Lalah Deliah. Dia ingat siapa dia, dan permainan berubah. Maka untukmu yang kehilangan arah, yang kian terseret ombak, yang masih menjadi boneka bagi orang lain, dan yang tersesat dalam mencari solusi, jangan mencari terlalu jauh. Kembalilah ke ruang tidurmu, bercerminlah! Tanyakan pada refleksi itu, siapa kamu? Sudahkah aku memahami dan menghargai dia yang terefleksi pada cermin ini?

 

Data Diri Penulis

Nama : Estetia Adistsany Salwanisa

Instagram ID : tet._.tia

Email : dstny.estetia81@gmail.com



About author

Related posts
Cerpen

Kerinduan

Cerpen

Menari Bersama Jingga

Cerpen

Hari Ini Tamat

Cerpen

Burung Gagak yang licik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *