
“Aku tidak tahu kenapa tidak ada orang yang percaya jika di Bulan ada manusia berkulit biru.”
Sudah seminggu Tino bicara soal manusia berkulit biru. Di manapun dia membicarakannya, entah di rumah, di sekolah, di kantin, bahkan di dalam toilet.
Di balik bilik toilet, aku memilih diam dan berkonsentrasi mengeluarkan isi perut. Apalagi, karena banyak makan sambal perutku jadi mulas. Dan, ocehan Tino membuatku perutku semakin terasa diremas-remas.
Namun, aku memilih diam. Tidak memintanya diam.
Sudah dua belas tahun aku dan Tino berteman. Aku sudah khatam semua hal soal dia, termasuk makanan kesukaannya, warna kesukaannya dan bahkan bagaimana cara kepalanya bekerja. Kalau kata teman-teman, “Cuma Gavi yang bisa jadi pawangnya Tino.”
Meskipun awalnya agak tersinggung tapi sekarang aku paham apa dengan apa yang mereka maksud. Terutama setelah aku mengenal Tino semakin dalam. Anak ini memang aneh.
“Bagaimana kalau setelah ujian kelulusan, kita liburan ke Bulan?” kata Tino lagi.
Aku mengehela napas panjang, lalu menyiram kloset dengan air di ember kecil yang telah disediakan oleh sekolah. Airnya agak butek, berbau tanah dan menggelikan. Kalau saja aku tidak kebelet, mana mungkin aku mau buang air di toilet ini? Seperti kata Mama, buang air di toilet umum itu membahayakan. Bisa kena penyakit tifus kalau nggak benar-benar diperhatikan. Oh, Tuhan, mereka bahkan nggak menyediakan sabun cuci tangan di sini.
“Gavi? Gav?”
Tino memanggil-manggil namaku lagi, kali ini suaranya menjadi agak kesal.
“Ya?” jawabku. “Kenapa?”
“Bagaimana warna punyamu?”
“Heh?” Mataku mendelik mendengar ucapan ngawurnya, tapi kemudian aku jawab, “Agak hijau.”
“Kamu makan banyak sayur?”
“Tentu. Bundaku masak banyak sayuran akhir-akhir ini.”
“Enaknya.”
“Kalau mau datang saja ke rumah.”
“Aku nggak bisa. Harus ketemu Manusia Biru dari Bulan.”
“Ampun deh.” Aku menepuk kening, lalu keluar dari bilik toilet, lalu menoleh ke bilik di sebelahku. Tino berdiri menghadap dinding, pakaiannya rapi, menandakan bahwa dia tidak baru saja buang air. “Ayo ke kantin.”
*
*
*
“Angel. Namanya Angelina.”
Di meja kantin lengkap dengan dua porsi mi goreng dan teh hangat, aku menunjuk salah satu cewek di antara kerumunan pengantre kedai bakso, memberi tahu sahabatku dengan serius. Angelina punya rambut keriting dihiasi pita warna-warni, kulitnya cokelat manis dan selalu tersenyum pada siapapun.
“Bagaimana menurutmu? Dia anak kelas 8B,” kataku.
Tino menggeleng. “Menurutku, dia nggak cocok sama kamu.”
“Kenapa?”
“Karena kamu lebih cocok sama Manusia Biru.”
“Aku lagi serius ini, tolong jangan bahas makhluk khayalanmu itu.” Aku melirik dengan sebal, tapi langsung melahap mi goreng di depanku. “Mana mungkin aku pacaran sama Avatar?” gumamku.
Tino menjawab, “Makhluk Biru dari Bulan, bukan dari Pandora.”
“Jadi, benar kalau itu dari karakter film?”
“Jelas bukan.”
“Terus?”
“Dari kenyataan.”
“Halah, sak karepmu.”
“Kalau nggak percaya, lihat saja pas liburan besok.”
*
*
*
“TERIMA! TERIMA! TERIMA!”
Semua orang menyoraki kami, rasanya semua tulang di tubuhku seperti bergetar ingin copot.
Kulihat Angel mendekatiku, kemudian menatapku. “Iya, aku mau jadi pacarmu, Vi.”
Aku melonjak kegirangan. Kuberikan cokelat yang kubawa kepada Angel. Teman-teman sekelasku ikut gembira, tapi satu-satunya orang yang nggak datang di hari itu cuma si Tino.
Sepertinya, dia marah besar kepadaku karena menembak Angel. Tapi, kenapa dia marah? Angel kan jomlo, jadi sah dong kalau aku mau jadi pacarnya? Memangnya, dia siapa melarang-larang aku? Apa jangan-jangan dia suka juga sama Angel?
Tapi, pria sejati tidak marah seperti ini. Kalau dia suka juga sama Angel, harusnya bicara langsung kepadaku. Bukan malah lari dari masalah dan memusuhi aku.
“Kamu nggak jadi liburan di rumah Tino?” tanya Angel saat kami kencan di taman. Dia memakan es krim cokelat, sementara aku memilih rasa kacang hijau. Rasa es krim kesukaan Tino. “Bagaimanapun juga dia sahabatmu.”
“Tapi, dia nggak suka sama kamu.”
“Terus?”
“Siapapun yang nggak suka sama kamu, harus berurusan sama aku.”
“Itu berlebihan,” kata Angel. “Aku nggak mau merusak persahabatanmu sama Tino. Lagian, aku kan pacarannya sama kamu. Kamu juga sahabatannya sama dia. Aku dan dia nggak ada urusan apa-apa.”
“Tapi, dia semakin aneh.”
“Aneh kenapa?”
“Dia bilang ada avatar di Bulan.”
“Avatar pengendali angin?”
“Bukan. Tapi, avatar biru.”
“Dari pandora?”
“Ya.”
Angel tertawa, lalu bertanya, “Kamu percaya?”
“Nggak lah. Memangnya ada yang percaya?”
“Aku percaya?”
“Hah?”
Mataku melongo mendengar penjelasannya, lalu kulihat dia meletakkan mangkuk es krim ke tanah dan menatapku. Perlahan dia menyibakkan rambut keritingnya yang saat itu digerai panjang, dan menarik resleting yang tersembunyi di sana.
Perlahan kulit kepalanya terbuka dan memperlihatkan sosok biru di dalamnnya. Biru, seperti avatar tapi dengan mata merah dan botak.
“Bagaimana? Kamu percaya sekarang?”
Aku cuma melongo.