Cerpen

Menari Bersama Jingga

Menari Bersama Jingga

Matahari telah menyikapi bumi kota yang terkenal dengan beraneka budaya, makanan, serta adat istiadatnya, kota yang khas dengan keratonnya, yang membuat banyak orang yang pernah menyinggahi kota ini akan kembali lagi, kota yang membuat banyak orang merindukan kota ini walaupun ia telah merantau jauh di tempat-tempat yang lebib terpapar modernisasi.

Rumah Joglo tersebut terlihat bayang-bayang yang malu-malu menyelimuti diantara matahari, rumah tersebut masih sangat terjaga, di rumah tersebut terdapat sebuah pendopo yang terletak di depan rumah setelah pagar gapura, biasanya pendopo tersebut digunakan untuk berkumpul keluarga Jingga, menerima tamu-tamu daerah sahabat-sahabat karib dari mbah kakungnya, ataupun digunakan untuk berlatih menari bagi anak-anak sanggar “Canting Gendhis” sanggar yang didirikan eyang uti sejak dirinya masih remaja. Rumah joglo ini juga dihiasi sebuah pringgitan yang dihuni oleh tanaman hias milik eyang uti, yang masih terus tumbuh subur karena eyang uti terus merawat dan menjaganya, seperti anak eyang uti sendiri.

Gorden tersebut bergoyang-goyang, dengan angin yang masuk perlahan-lahan kedalam bilik kamar, yang membangunkan Jingga dari tidur lelapnya karena kelelahan setelah tiba di Yogya semalam, dari dapur tercium sebuah aroma masakan pisang goreng, pisang goreng kesukaan Jingga yang pasti dimasak oleh eyang utinya, ia buru-buru bangkit dari dipan kasur tersebut dan mengarah ke dapur, benar saja disana eyang utinya sedang menggoreng beberapa pisang lagi.

“Nduk sudah bangun to? niki pisang gorenge mpun di maem nduk” (nak sudah bangun ya? ini pisang gorengnya di makan nak) Jingga tanpa basa-basi langsung memasukkan satu pisang goreng, yang masih terasa hangat dan meminung jahe hangat  bikinin eyang utinya.

Setelah menyelesaikan sarapan pagi bersama eyang utinya, dan mengobrol kesibukan Jingga serta maksudnya untuk datang kerumah eyang utinya, Jingga langsung bergegas untuk membersihkan diri, merapikan beberapa barang dan memasukannya kedalam lemari, dan kemudian ia mengeluarkan sepedanya dari gudang, membersihkan sepeda yang berwarna hijau tersebut dari debu-debu yang telah menghinggapinya.

Ia mulai mengendarai sepeda tersebut, lalu mengarah kerumah budhe Tasmih, dirumah budhe Tasmih tersebut ia dihidangkan sebuah makanan khas yogya kesukaan ayahnya, makanan tersebut bernama “tiwul” yang terbuat dari gaplek singkong dan tepung, rasanya sedikit kenyal dan gurih, jika teringat makanan ini Jingga pasti teringat dengan ayahnya. Kemudian setelah mengunjungi rumah budhe Tasmih, Jingga pergi kerumah pamannya, di rumah om Abiyyu, Jingga juga dihidangkan oleh istrinya sebuah makanan berat, makanan khas Jogja, apalagi jika bukan gudeg, makanan dengan sayur nangka, ayam kampung, telur manis, dan krecek ini memang menghadirkan rasa yang pas ketika dimakan.

Setelah beranjak siang, Jingga pun mengunjungi sebuah toko bunga, ia membeli beberapa bunga, dan mendatangi sebuah pemakaman umum di daerah dekat tempat tinggal eyang utinya. Ia menemukan nama mbah kakungnya, di batu nisan tersebut ia menaburi beraneka ragam bunga dan sedikit air mineral yang telah ia bawa. Saat masih hidup Jingga memang sangat akrab dengan mbah kakungnya, sewaktu kecil mbah kakungnya selalu mengajak Jingga untuk memanen banyak tanaman di halaman belakang rumah, di perkarangan belakang rumah tersebut terdapat berbagai macam tanaman mulai dari anggrek, lidah mertua, hingga lily kesukaan Jingga. Selain itu dirumah tersebut juga terdapat banyak tanaman rempah-rempah yang digunakan sebagai obat tradisional, serta beberapa buah dan sayur yang apabila telah siap masak akan di buat sesuatu oleh eyang uti yang begina menggugah selera.

Setelah Seharian ia memutari komplek perkampungannya, di sore hari tersebut tibalah dimana saat Jingga akan belajar menari dengan budhe Tasmih yang mengganti eyang uti sebagai guru tari di desa ini. Di sebelah Jingga terdapa anak kecil, matanya berbinar, rambutnya panjang, jelas gerakan tarinya lebih baik dari Jingga yang baru saja belajar menari. Disela-sela istirahat Jingga mendekati anak kecil tersebut, menanyakan siapa namanya, dan ternyata namanya adalah “arsenia”, ia kemari diantar kakaknya yang Arsenia tunjukkan ketika Jingga mengantar Arsenia kedepan pintu gerbang. Disana terdapat ososk lelaki yang mengenakan sebuah vespa, dibalut dengan kaos polo dan celana pendek serta sepatu converse yang terlihat sangat cocok, Jingga menatapi pria tersebut, dan ia tersadar itu adalah sahabat kecilnya yang dahulu pindah ke Banda neira.

Sore ini Jingga bertemu dengan Gestara Raespati, anak kecil yang selalu menemaninya dahulu, kini duduk tepat disampingnya, di terpa angin-angin yang menerjang sore hari di pantai dekat dengan kampungnya.

“sudah lama ya kita engga bertemu gini”

“iya ges, gimana banda neira?”

“sangat cantik, sama seperti dirimu. kapan-kapan mari berkunjung kesana”

Jingga memasuki pintu rumahnya, diantarkan Gestara hari ini ia banya sekali bertukar cerita dengan anak laki-laki yang dahulu menjadi teman masa kecilnya. Jingga menceritakan kehidupannya sebagai sosok guru muda, dan Gestara menceritakan kehidupannya sebagai seorang dokter yang sedang koas dirumah sakit kampung eyang utinya, Gestara juga mencertakan bagaimana banda neira, tentang lautnya, tentang makanan disana, dan tentang bagaimana Gestara menjadi sosok dokter padahal dahulu ia sangat takut jika dihadapkan dengan sebuah jarum suntik.

Dua minggu tepat Jingga sudah berada di kampungnya ini, dan kini ia harus berpamitan dengan eyang utinya, budhe Tasmih, serta beberapa sanak keluarganya. Hari ini ia akan kembali yang akan diantarkan oleh Gestara, ia menaiki mobil Jeep tua, ia masih ingat benar itu adalah mobil jeep milik ayah Gestara, ia diantarakan menuju Bandara Adisutjipto, dimobil Jingga sempat memberikan sebuah tiket. Tiket yang akan ada Jingga didalam perayaan tersebut, sebuah theater yang akan ditampilkan untuk memperingati hari pahlawan di Ibukota. Gestara juga dengan senang hati berjanji akan datang.

Hari dimana Jingga akan menampilkan pertunjukkan tersebut akhirnya tiba, ia sudah daripagi berada di gedung theater, diantarkan oleh ayahnya dan bundanya yang akan menemani Jingga seharian ini, Jingga jelas sangat menunggu-nunggu hari ini, hari yang sudah ia siapkan hingga berminggu-minggu lamanya. Dan dihari ini Jingga juga akan bisa melihat Gestara kembali.

Satu persatu penampilan tersebut dipertunjukkan sesuai dengan alur cerita, hingga tialah Jingga dan bersama teman-teman karibnya keluar untuk mempertunjukkan sebuah tarian Bedhaya semang. Tarian bedhaya semang memiliki makna bagaimana kisah panembahan senopati dan ratu laut selatan. Tarian ini sangat terikat dengan upacara adat, sakral, religu, dan pusaka warisan para leluhur yang menyelimuti dan menambah kesan apik pertunjukkan hari ini.

Dari bilik pintu masuk, Gestara yang mengenakan sebuah pakaian batik terlihat membawa sebuah bunga. ia menyaksikkan pertunjukkan yang dilakukan Jingga. hingga kemudian saat Jingga hendak menghampiri setelah acara tersebut selesai, Jingga hanya menemukan sebuah bunga ditempat duduk Gestara.

“dari siapa itu nduk?” kedua orang tua Jingga menghampiri dirinya, memberikan ucapan selamat atas pertunjukkan yang sanat mengesankan, serta bertanya tentang bunga yang berada di tangan Jingga yang Jingga ambil dari kursi penonton tersebut.

“Sebentar ya yah, bun Jingga harus cari seseorang” Jingga berpamitan kepada kedua orang tuanya, dan ia mencari-cari Gestraa di tempat sekitara gedung theater, setelah beberapa menit hampir ia sudah mengelilingi semua gedung theater tersebut, Jingga tidak menemukan Gestara, dan ia menghampiri ayah dan bundanya dengan keadaan muka kusam dan lelah, dan pakaian tari yang masih melekat ditubuhnya. Sesampainya dirumah Jingga melhat ponsel miliknya, disana juga tidak ada notofikasi yang berasal dari Gestara, Jingga diuat kalang kabut engan pikiriannya sendiir, ia menduga-duga apakah tadi Gestara benar-benar datang dan membawa bunga yang telah ia masukkan kedalam pot yang diisi dengan air, atau itu hanya angan-angan dan bayangan Jingga yang begitu mengharapkan kehadiran Gestara.

Dua bulan semenjak dari pertunjukkan tersebut, Jingga tak pernah mendapati notifikasi dari Gestara, ia memutuskan untuk menutup semua kesempatan bagi Gestara yang ada di dalam hati Jingga, ia juga melupakan bagaimana janji sosok Gestara yang akan ke Jakarta untuk mengunjungi banyak tempat-tempat kesukaan Jingga.

Sore ini selepas pulang dari bekerja, Jingga memutuskan untuk mampir kesebuah tempat, taman ismail marzuki, disana menjadi tempat yang sangat nyaman bagi Jingga. Ia berjalan-jalan disekitaran taman tersebut, hingga menampilkan sebuah senja yang menampakkan dirinya dengan ibukota. Namun tak berapa lama saat ia duduk, tiba-tiba sebuah lengan merangkul pinggangnya, ia jelas terkejut, membalikkan pandangannya kearah wajah pria yang memeluk dirinya dari belakang secara tiba-tiba. Ia melihat ajah dari Gestara tersenyum lebar disana.

di coffe shop yang memperlihatkan keindahan malam ibukota, Gestara menceritakan semua kejadian, sejak pertunjukkan hingga dua bulan terakhir ini. Saat ditengah acara tersebut tiba-tiba saja telephone Gestara berdering, ia sudah mencoba untuk mengabaikannya namun telephone tersebut masih terus berdering, hingga Gestara mengangkat telephone tersebut, dan ternyata panggilan tersebut berasal dari puskesmas yang menyatakan bahwa ada operasi yang harus segera ditangani oleh Gestara. Operasi tersebut merupakan operasi dari dua bayi kembar yang memiliki down syndrome, dan karena itu Gestara harus segara menyelamatkannya ketiganya, ibu serta kedua bayi kembar tersebut. Gestara juga menunjukkan foto bayi kembar tersebut kepada Jingga.

Jakarta selalu sesak dan penuh hiruk pikuk di dalamnya, keramaian memang menjadi sahabat bagi Jakarta, dan kini di salah satu restaurant yang bisa memandang banyak gedung-gedung tinggi ibukota, Gestra amembawa Jingga kesana. Memperbaiki janjinya tentang masa lampau ketika ia tak sempat mengucapkan selamat atas pertunjukkan theater yang mampu membuat penonton merasa ikut dalam peran didalamnya. Gestara membawakan sebuah bunga lily dengan warna ungu lavender. Bunga lily adalah bunga kesukaan dari Jingga. Gestara juga mengungkapkan isi hatinya bagaimana ia sedari dulu telah menggagumi Jingga, sedari kecil Jingga memang sosok mengagumkan, jiwa lembut serta keibuannya melekat hingga ia dewasa dan menjadi guru muda disalah satu international school di Jakarta.

About author

Related posts
Cerpen

Untitled

Cerpen

TEPANG TAUN, SULUNG

Cerpen

Air Mata Milik Adiva

Cerpen

Tiba-Tiba Cinta Datang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *