
Datang ke sebuah pameran seni rupa bersama pasangan bisa jadi sebuah referensi Ide kencan selanjutnya. Bila pernah menonton sebuah film romance yang berjudul 500 days of summer, terdapat adegan dimana Summer dan Tom sedang pergi berkencan dengan mengunjungi pameran seni. Mereka berusaha untuk menafsirkan suatu karya yang mereka lihat. Tom melihat sebuah karya dinding berwarna hitam putih berobjek seperti kumpulan pipa dan dihiasi lalat-lalat yang menempel pada karya dinding. “ini sangat kompleks” jelasnya.

Sumber Gambar : cinemapoetica.com
Hingga mereka memandangi suatu karya berbentuk poop lengkap dengan lalat yang menghinggap. Dengan cukup serius dan lama memandang, pada akhirnya Tom berbisik kepada Summer “mau nonton bioskop?”dengan singkat Summer langsung membalas “ya!” lalu mereka sama-sama berpaling dari tempat itu. Ada apa dengan karya poop tersebut?.
Apakah mereka melihat karya tersebut kemudian memiliki kontak batin yang sama hingga tidak perlu menafsirkannya lagi seperti yang mereka lakukan pada karya yang lain sebelumnya? atau mereka sudah cukup bosan hingga pada akhirnya memutuskan untuk pergi menonton bioskop saja tanpa melihat karya yang lainnya. Kira-kira apa ya?
Kita Masih Suka Takut Mengintepretasi Sebuah Karya

Sumber Gambar : getlost.id
Dalam menikmati sebuah karya, setiap orang memiliki caranya masing-masing. Ada baiknya memang bila ingin melihat karya, datang langsung ke pameran seni. Ketika datang ke pameran seni, ada yang menikmati karya karena detail dari cara menggores atau media yang digunakan cukup memukau di mata. Ada pula yang mengkomentari teknik penggambarannya dan juga yang paling instan untuk dapat memahami sebuah makna dari karya bisa dilakukan dengan menyimak saat ada kuratorial tour yang ada pada pameran berlangsung.
Mengikuti alur penjelasan sang kurator, bila tidak faham bisa tinggal tanya, bahkan bila masih terasa belum cukup dari semua penjelasan sampai akhir para pengunjung bisa untuk tinggal membaca deskripsi pada setiap karya yang dilihatnya. Tapi istilah kegiatan itu sepertinya masih dirasa asing ditelinga oleh para apresiator baru.
Para penggunjung pameran seni yang awam atau bukan praktisi seni rupa terkadang, terkesan suka bingung atau harus bagaimana dalam menafsirkan sebuah karya seni saat bertatapan langsung dengan karyanya. Berbeda saat mereka mendatangi acara musik, teater atau menonton pagelaran tari. Mungkin karna konteksnya jelas, cukup melihat, lalu tinggal menikmati pertunjukannya.
Namun sepertinya tidak jika melihat pameran seni rupa. Hal ini mengakibatkan beberapa orang yang hadir tidak merasakan suatu hal dari apa yang mereka lihat. Alhasil, saat mereka mencoba mengintepretasikan sebuah karya seni, mereka tidak yakin karena penggambaran atau penangkapan makna yang dilakukan terasa dangkal atau mungkin ‘Alay’.
Atau mereka hanya takut untuk mentafsir suatu karya. Ragu bila ternyata maknanya tidak seperti apa adanya atau kurang relevan. Apakah masyarakat kita kurang dalam mendapatkan atau terpapar dengan literasi mengenai cara mengapresiasi sebuah karya seni? Hingga ketika tidak ada kemampuan dalam memahami sebuah karya, memberikan pengalaman kurang menarik saat mengunjungi pameran seni hingga barangkali enggan untuk datang lagi.
Agar tidak bingung mari kita mulai, bagaimana memahami sebuah karya seni hingga dapat menafsirkannya. Pada tahapanya sebelum melakukan interpretasi menurut Edmud Burke Feldmen kita harus melewati tahap yang pertama yaitu deskripsi. Dengan cara mengidentifikasi suatu karya seperti siapa pembuatnya, teknis seperti apa dalam pembuatan karyanya dan semacamnya.
Lalu lanjut dengan menganalisis karya yaitu memahami unsur-unsur dan prinsip penataan serta menelusuri aliran seni apa yang digunakan oleh pembuat karya, baru setelah itu dilanjut dengan interpretasi kemudian juga bisa disusul dengan evaluasi. Interpretasi ini lah yang merupakan penafsiran pada suatu karya seni. Kegiatan yang menyenangkan namun sekaligus juga membuat galau akan makna yang hendak disodorkan. Kegalauan ini hendaknya diterjang saja dengan daya imaginatif yang dimiliki oleh manusia yang disertai dengan akal logis dan kepekaan perasaan.
Kita Bebas Berekplorasi dalam Mengintepretasikan Sebuah Karya Loh!
Sumber Gambar : insider.com
Masih teringat rasanya dengan sebuah karya yang menggemparkan jagat internet beberapa tahun silam yaitu karya pisang yang ditempel di tembok menggunakan lakban. Rasanya tergelitik memang bila diingat tentang karya ini. Tak heran bahkan judul karya ciptaan Maurizio Cattelan ini saja bernama ‘Comedian’. Bagi orang yang tidak memiliki seluk beluk tentang seni mereka pasti mengatakan bahwa ini tidak memiliki makna apa-apa dan lebih terbilang seperti karya yang main-main. hanya pisang asli yang sewaktu-waktu bisa membusuk lalu ditempel dengan menggunakan lakban berwarna abu-abu silver.
Saya dan teman saya kemudian mencoba untuk mengintepretasi karya ini. Teman saya berpendapat bahwa karya ini mengisyaratkan agar kita menjaga dan tidak membuang buah pisang karna lakban diidentikan dengan mengemas atau mewadahi dan posisi lakban yang miring mengisyaratkan seperti layaknya lambang dilarang. Jauh dari makna itu, saya mengintrerpretasikannya dengan sangat berbeda.
Saya melihat pisang yang di tempel dengan lakban layaknya kita manusia seperti sekor monyet yang sedang memperhatikan makanan utama yaitu pisang yang tinggal satu dan itu ditempel di dinding dengan lakban. Kemudian manusia yang menjadi seekor monyet beramai-ramai melihat karya tersebut sambil teriak-teriak layaknya monyet di bali. Seketika saya tertawa membayangkan jika diri saya menjadi seekor monyet. Kemudian kami mulai mencari tau pendapat dari pengamat seni yang lebih relevan untuk menjelaskan tentang karya unik ini.
Dalam penjelasan singkatnya, karya ‘Comedian’ yang dibuat oleh Cettel ini sedang menggagas mengenai sebuah konseptual dalam karya seni tersebut. Pisang dan lakbannya bukanlah karya yang ingin ditunjukan melainkan alat atau perantara dari konsep yang ingin dijelasakan. David Datuna yang juga seorang artis pernah membuat performence art yang menggemparkan dengan mengambil pisang tersebut kemudian memakan pisang di depan para pengunjung dan menamakan performence art-nya dengan ‘Hungry Artist’.
Bagaimana dengan karyanya? Apakah tidak ada lagi karena sudah dimakan oleh David?. Mudah, cukup ambil pisang yang lain kemudian tempel pisang tersebut di posisi aslinya. Toh pisang dan lakban adalah alat, tapi ide konsep tetap ada. Karya Cettel ini menggagas ide dengan hadirnya sebuah karya remeh di sebuah galeri megah untuk menghadirkan respon menggelitik dengan adanya pisang asli yang di tempel dengan lakban. Benar saja, ketika perform art dari David memunculkan tawa dari pada penggunjung, ini lah respon dari gagasan konsep yang memunculkan intepretasi
Tidak sampai disitu. Jika memang bebasnya dalam mengintepretasi maka akan memunculkan diskusi-diskusi yang bisa jadi referensi pada topik yang dibahas seta memunculkan ide-ide konseptual yang imajiner. Saya dan teman saya mencoba bersenang-senang dengan mencampur tafsiran karya Cettel dari penjelasan yang relevan dengan intepretasi kami diawal. Pada intepretasi saya, saat performance art yang dilakukan oleh David akhirnya ada monyet yang sudah tidak tahan untuk memakan pisang dan para pengunjung yang tertawa saat melihat performance art David, seperti para pengunjung wisata Sangeh Bali yang terhibur saat melihat monyet memakan makanannya itulah mengapa diberi judul komedian.
Sedangkan dari intepretasi teman saya yang menjelasan untuk jangan membuang pisang dengan lakban yang memposisikan miring mirip seperti lambang ‘dilarang’. Pisang identik dengan elemen pendukung dalam komedi. Ada kulit pisang dijalan, kemudian ada orang yang menginjak, jatuh, menjadi bahan bercandaan. Maka dari itu pisang tersebut dilarang untuk dibuang sembarangan. Menyenangkan sekali kami rasa ternyata untuk menambahkan penafsiran dari penafsiran yang sudah ada.
Sejak dari tadi kita secara tidak langsung telah memahami tentang bentuk dari sebuah intepretasi. Namun intepretasi saja masih belum lengkap. Di Dunia ini kita ada suatu istilah yaitu kritik seni rupa. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai tahapan-tahapan menurut Feldmen, itulah yang merupakan tahapan dari kritik karya seni. Sama halnya dengan menikmati puisi, tulisan artikel yang bisa dibaca, menikmati kritik karya seni sebenarnya sama halnya dengan kegiatan membaca.
Indonesia Masih Perlu Wadah Literatur yang Membahas Mengenai Seni Rupa
Peran para kritik seni rupa sebenarnya dapat menjembatani tidak hanya untuk kreator saja, tetapi juga mengedukasi para apresiator. Kritik seni rupa sering kali memfokuskan untuk mengusut tuntas suatu karya hingga lupa, ada para apresiator baru yang juga membaca dan ingin menikmati tulisan dengan alur penjelasan yang mudah dicerna dan menyenangkan untuk dipahami.
Namun bila dilihat saat ini juga, minimnya literatur yang membahas tentang kritik seni rupa di media konvensional. Belum lagi saat ini media konvensional tergerus dengan adanya konvergensi media. Tapi itu sebenarnya bukan hambatan untuk terus memproduksi karya tulisan mengenai kritik seni rupa pada era digitalisasi.
Bahkan adanya pun era ini, tidak semua kalangan dapat dengan gamblang untuk terpapar aksesnya. Masyarakat yang awam akan seni rupa tapi memiliki minat dalam mengonsumsinya mungkin perlu banyak mengulik ke ruang-ruang diskusi khusus yang membahas ‘beneran’ tentang seni rupa itu sendiri.
Saat ini, pada dekade terakhir, antusiasme dan wacana ‘seniman muda’ sedang gencar dihidupkan kembali pada keminatan mereka dengan dunia seni. Jangan sampai hal ini hanya menjadi tren semata dikarenakan tidak dimbangi dengan pemahaman nilai-nilai dalam sebuah karya. Dengan adanya kritik seni, ini bisa menjadi penyeimbang. Secara tidak langsung memberikan pemahaman mengenai pemaknaan pada sebuah karya dengan adanya kritik seni. Bila dibungkus dengan tulisan ringan dan mudah untuk dipahami, akan banyak masyarakat luar untuk tidak lagi ragu melakukan kegiatan menafsirkan suatu karya.
Indonesia masih perlu untuk memberikan edukasi mengenai terbentuknya karya seni rupa. Hal ini dibutuhkan karena massa yang ideal adalah massa yang dapat melihat dengan baik nilai-nilai dalam sebuah karya.
Bagaimana? Sudah siap sekarang untuk datang ke pameran bersama pasangan untuk agenda kencan selanjutnya?