Cerpen

Seorang Anak yang Dididik oleh Uang

dididik oleh uang

Sore itu, Bahril sedang mencuci baju saat tiba-tiba ia teringat jika bapaknya berulang tahun. Sontak, Bahril langsung mengambil gawainya di kasur dan menelfon sang bapak untuk sekadar memberikan ucapan selamat ulang tahun.

Namun, ketika ia menelfon bapaknya, nomornya sedang tidak aktif dan dia hanya mengirimkan pesan bertuliskan,

“Bapak, selamat ulang tahun, ya! Hari ini hari lahir Bapak, semoga tambah baik. Apa yang diharapkan semoga terwujud. Diberi kesehatan dan rezeki yang berkah serta…,”

Panjang sekali Bahril menuliskan ucapan selamat itu kepada bapaknya. Setiap tahun ia juga mengucapkan ulang tahun kepada seluruh anggota keluarganya, yakni Bapak, Ibu, Kakek, dan juga Neneknya.

Maklum, Bahril sangatlah jarang bertemu dengan orang tuanya. Satu tahun sekali pun tidak pasti. Kadang, dua sampai tiga tahun bapak dan ibunyayang berprofesi sebagai TKI baru pulang dari Negeri Jiran. Bahril pun jarang pulang ke kampung halamannya di Purwokerto, yakni 3 bulan sekaliatau ketika ada agenda di rumah.

Bahril mulai merantau sejak melanjutkan sekolah menegah pertamanya ke Kota Pekalongan lalu menghabiskan masa SMA-nya di Semarangdan kembali merantau saat ia memilih Jogja sebagai tempatnya berkuliah.

Untuk makan dan minum sehari-hari, ia selalu beli di warungentah itu warteg, angkringan, atau burjo. Kadang kala jika bapak atau ibunya mengirimkan uang, Bahril sesekali makan di kafe, entah barang satu atau dua kali dalam sebulan.

Saat Bahril tengah menjemur pakaian, teman kuliahnya datang dengan membawa banyak makanan Siti, Erna, Fadil, dan Ahkanuntuk mengerjakan tugas membuat cerpen mata kuliah Bahasa Indonesia.

Sejak bertemu di kampus dan banyak mengobrol, mereka berlima menjadi kawan baik dan sering bepergian bersama. Seperti ke pantai Jogan, Wedi Ombo, Nglambor, Slili dan banyak lagi pantai di Jogja yang sudah mereka kunjungi setiap minggu pagi.

“Eh, Fren! Sini-sini, langsung masuk aja ke kamar. Udah dibersihin kok. Aku masih jemur cucian, nih, di belakang,” titah Bahril, agak berteriak.

Siti, Fadil, Erna, dan Ahkan pun segera masuk ke kamar. Sementara itu, Erna langsung membuka jajanan yang ia bawa dan memakannyakecuali marabaksembari menunggu Bahril selesai menjemur pakaian.

“Sorry, Fren, baru ikut gabung. Oh iya, gimana tadi di jalannya? Dari rumah pada berangkat jam berapa?”

Selanjutnya, mereka pun akhirnya tenggelam dalam perbincangan. Hingga ketika pukul 16.50, baru si Ahkan memulai pembahasan dengan serius.

“Fren, udah pada punya pandangan tentang tugas cerpen?”

“Belum, Kan. Aku masih baca-baca di beberapa website yang isinya cerpen buat nyari ide,” jawab Siti yang memang senang sekali membaca, sampai-sampai jika berkunjung ke rumahnya pasti disuguhi pemandangan rak kayu yang penuh dengan buku.

“BTW, (boleh tau,singkatan anak muda) website apa saja yang khusus tulisan cerpen, Ti?” tanya Fadil sembari menyisir rambut bergelombangnya dengan jari.

“Boleh, Dil. Tapi, setahuku ada dua. Yakni laman Lakon Hidup sama Fiksi Lotus. Itu dua website yang khusus cerpen,” jawab Siti.

Di saat yang lain berdiskusi membahas cerpen mereka, Bahril dan Erna malah asik saling suap martabak.

“Bahril! Erna!” panggil Siti, mengagetkan mereka.

“Ya? Aduh, sorry, Fren! Sampai mana tadi?” sesal Bahril, kembali memokuskan diri.

“Gini, aku baru inget, kamu kan jago banget nih nulis cerpen. Bahkan sering dapat 3 besar kalau lomba. Bagi tipsnya dong, Ril, ke kita-kita!” usul Ahkan yang langsung disambut antusias sama yang lain.

“Ah, itu. Oke-oke. Jadi, gini…,”

Bahril pun langsung membahas bagaimana langkah-langkah dalam membuat cerpen secara detail. Mulai dari mencari ide, tema, membuat paragraf pembuka, membuat alur, menentukan tokoh dan penokohan, latar, memilih sudut pandang yang paling pas dan gaya bahasa penulisan.

“Misalnya, nih, aku mau bikin cerpen yang temanya itu manusia setengah dewa. Terus dengan garis besar cerita seorang anggota DPR yang bisa melakukan apa saja yang ia kehendaki. Lalu,.. .”

Pemaparan contoh dari Bahril membuat teman-temannya langsung kepikiran mencari ide cerita yang akan mereka tuangkan. Masing-masing dari mereka sudah menemukan tema dan mulai menulis dengan laptop masing-masingkecuali Ahkan yang tidak membawa laptopdan mengerjakan dengan gawai miliknya.


Terbiasa menjadi anak kos sejak di bangku menengah pertama menjadikan Bahril tak kesulitan dalam menjalani hari.

Sebagaimana anak kos kebanyakan, prinsip “asalkan masih ada uang yang disimpan, maka ia masih bisa hidup” tetap menjadi pegangan.

Sebagai anak rantau, bisa dibilang Bahril termasuk mahasiswa yang berkecukupan. Ia mengatur sendiri pengeluaran uangsebesar dua juta rupiah per bulanyang diberikan rutin oleh orang tuanya.

Meski kadang, Bahril menggunakan uang itu untuk hal yang kurang bermanfaat, seperti bermain lotre, foya-foya dan membeli kebutuhan lain yang sebenarnya nggak diperlukan.

Bahril jarang membelanjakan uang bulanannya untuk kebutuhan sandang dan membeli hanya sebatas parfum serta perlengkapan kebersihan penunjang gaya hidupnya.

Orang tua pun tak tahu persis kehidupan seperti apa yang dilakukan anaknya di kota orang. Sesekali mereka hanya bertukar kabar dan tak menanyakan bagaimana perkuliahannya di kampus.

“Jadi gini Fren,” Fadil, dengan berbungkus-bungkus susu kedelai dingin di tas khususnya, mengawali pembicaraan.

Memecah lamunan Bahril dan tiga orang lainnya dari menatapi pengunjung yang berlalu-lalang di jalan Malioboro.

“Kalian semua nyadar nggak banyak orang yang lalu-lalang di sini? Ini bisa jadi potensi pemasukan buat kita lho. Apalagi buat anak rantauan kayak Bahril sama Erna. Biar nggak ngandelin transferan orang tua mulu,” lanjut Fadil.

“Ngapain emang?” tanya Erna, mulai tertarik dengan topik pembicaraan.

“Aku ada ide. Gimana kalau kita jualan es keliling di sini? Kebetulan aku punya temen yang buat es cup plastik berbagai rasa dan kita bisa ngambil cukup murah, yaitu tiga ribu. Nantinya kita bisa jualan di sepanjang jalan ini dengan harga lima ribu per gelas. Tinggal kali aja deh keuntungan sama jumlah gelas yang kejual. Lumayan, kan bisa buat kita makan. Sambil ngisi waktu luang juga. Gimana, pada setuju nggak?” ajak Fadil.

Bahril selaku anak kos langsung setuju, dia berfikir dari pada sore hari nganggur. Lumayan ada aktivitas baru dan dapat penghasilan meskipun tidak seberapa.

“Oke, aku ikut kamu Dil.”

Mereka lantas melanjutkan diskusi terkait rencana berjualan mereka. Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sudah dijanjikan. Fadil pun segera membagi jatah jualan masing-masing sesuai kesepakatan kemudian berkeliling menawarkan es mereka.

“Es, es, es! Es rasa buah. Cuma cepek langsung minum,”

Seperti itu teriakan mereka mempromosikan jualannya. Setelah dua jam berkeliling, dengan sisa jualan, mereka kembali berkumpul di tempat awal mereka bertemu. Sisa jualan yang cukup banyak membuat Fadil tercetus ide untuk menurunkan harga jual.

Berkat itu, semua es jualan mereka habis tak bersisa. Keuntungan jualan di hari pertama itu mereka hitung dan pisah. Separuh untuk tambah modal dan yang separuh mereka gunakan untuk makan di warung Burjo andalan mereka.

Tak disangka, hari ini genap sepuluh hari sudah Bahril dan yang lain menjajakan es di Malioboro. Di tengah waktu istirahat mereka, Siti mengusap dahinya yang berkeringat.

“Capek lho ini, kayanya besok aku udah nggak ikutan. Beneran aku ngga kuat,” keluhnya.

Ternyata capek juga ya nyari uang itu, pikir Bahril.

Bahril pun merasakan hal yang sama. Akhirnya, Ia dan yang lain memutuskan untuk berhenti berjualan. Sementara itu, sebagai orang yang menggagas ide ini, Fadil hanya bisa mengiyakan saja.

Ia tidak mau memaksakan kehendaknya, meskipun menurut Fadil jualan ini cukup menguntungkan.

Usai mendapatkan bagi hasil jualan hari ini, Bahril pun kembali ke kos. Tubuhnya yang lelah membuat Bahril seketika terlelap begitu sampai di kasur.

Di tengah tidurnya yang belum lelap, panggilan telefon dari kedua orangnya memaksa Bahril kembali terjaga. Masih dengan menahan kantuk, Bahril menjawab panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinga.

“Hallo, Pak, Bu. Assalamu’alaikum,” sapa Bahril.

“Wa’alaikum salam. Nak, gimana kabarmu? Sehatkah?” tanya sang ibu dari seberang.

“Sehat Pak, Bu. Lama nggak telefonan sama kalian, sudah setengah bulan lho kita nggak ngobrol,” protes Bahril.

“Iya Nak, Alhamdulillah kalau sehat. Iya, maaf. Bapak Ibu baru luang sekarang, Nak, jadi baru bisa buat telefon malam ini,”

Malam itu, dengan rasa capek yang perlahan menguap, Bahril menceritakan pengalaman sepuluh harinya berjualan es keliling yang ia lakukan bersama dengan teman-temannya.

“Oh ya? Wah bagus dong kalau gitu! Kamu mau nyoba buat mandiri dan nyari pemasukan lain selain ngandalin kiriman Ibu,”

Bahril cuma cengengesan mendengar nada bicara kedua orang tuanya yang terkesan syok sekaligus bangga itu.

“Hehe… Iya, Bu. Oh iya, Bu, bentar lagi kan mau lebaran, Bapak sama Ibu tahun ini pulang, kan?” tanya Bahril harap-harap cemas.

“Iya, lebaran tahun ini kita pulang,”

Mendengar kabar itu membuat Bahril bahagia bukan kepalang. Akhirnya, setelah dua tahun lalu mereka pergi, kini akhirnya Bahril bisa bersua lagi dengan kedua orang tuanya dan kakek-neneknya di kampung halaman.

Hari Raya Idul Fitri pun tiba. Sepulang melaksanakan salat Ied, Bahril berlutut dan sungkem meminta ma’af kepada kedua orang tua serta kakek-neneknya.

Prosesi sungkeman pun diwarnai tangis haru. Kemudian, sebagaimana tradisi lebaran, Bahril dan keluarga berkeliling ke rumah-rumah tetangga untuk saling berma’afan. Hingga matahari tanpa terasa sudah berada di atas kepala, Bahril dan keluarga memutuskan untuk pulang.

“Nak, sini! Ada yang mau Ibu sama Bapak omongin ke kamu.”

Bahril lantas mendekat,

“Kenapa, Bu?”

“Ibu dan Bapak nggak akan pergi merantau ke negara seberang lagi, Ril. Bapak sama Ibu mau nyoba buka usaha kecil-kecilan di sini. Jadi, nanti uang jajan Bahril kemungkinan berkurang, tidak genap seperti biasa yang ibu kirimkan. Nggak apa-apa, ya, Ril?”

Bahril sontak terkejut. Mendapati kemungkinan uang bulanannya kelak akan dikurangi, membuat Bahril seketika kebingungan. Ia yang biasanya santai saja menghabiskan dua juta per bulan tanpa pertimbangan, kini harus pontang-panting mengatur uang.

Apalagi, meskipun sudah sering menjadi anak rantau, Bahril belum punya pengalaman bekerja sebelumnya selain berjualan es yang berhenti karena tidak serius.

‘Duh, gimana ini?’ pikir Bahril, menerawang jauh akan kondisi ekonominya kelak.

Namun meskipun begitu, Bahril tak bisa protes. Ia sadar selama ini sudah cukup banyak menghabiskan uang dari orang tuanya tanpa pernah memikirkan sulitnya mencari uang.

Bahril mengangguk,

“Iya, Bu. Nggak apa-apa.”

About author

Related posts
Cerpen

Hari Ini Tamat

Cerpen

Burung Gagak yang licik

Cerpen

Malam Terakhir Agra

Cerpen

Si miskin merindukan ilmu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *