
Biasanya, kita kelihatan bijak sekaligus bisa memberi solusi buat permasalahan teman kita. Saat orang lain menghadapi masalah, kita biasanya jadi punya energi positif dan strategi buat menyelesaikan permasalahan mereka. Namun, saat kita yang sedang mengalami masalah, malah jadi bingung sendiri, gimana cara menghadapinya. Dalam istilah psikologi, ini dinamakan Solomon’s Paradox. Yuk, kita simak penjelasan selengkapnya.
Tentang Solomon’s Paradox

Sumber Gambar : understood.org
Pada masanya, ada seorang raja ketiga di Kerajaan Yahudi. Namanya Raja Solomon. Orang-orang menganggap Raja Solomon sebagai raja yang paling bijak. Sampai ada banyak orang datang dari semua penjuru dunia, buat meminta nasihat kepadanya. Tapi nggak ada yang tahu kalau ternyata Raja Solomon ini kontrol dirinya rendah. Jadi, sang raja nggak mampu buat mengendalikan emosinya, sampai kerajaannya sendiri dilalaikan.
Ada seorang ilmuwan psikologi yang bernama Igor Grossmann, dia memelajari secara mendalam tentang alasan seseorang bisa jadi bijak banget ke orang lain, melebihi ke diri sendiri. Ini alasannya:
Bisa Melampaui Ego Sendiri

Sumber Gambar : pewresearch.org
Saat ada teman lagi curhat, pasti kita bisa langsung memposisikan diri sebagai orang yang bijak. Hal tersebut karena kita udah menalar secara logis tentang seseorang yang melewati tantangan dalam kehidupannya, sehingga jadilah kita bijaksana. Sampai akhirnya, penalaran ini melewati batasan dari ego seseorang.
Makanya, pas ada seseorang bercerita tentang masalah dia ke kamu, kamu pun akan melampaui ego dan biasanya bakalan menalar pakai logika. Kamu juga langsung auto memahami sudut pandang orang tersebut, mengamati keadaan yang selalu berubah, dan paham gimana situasi yang terjadi. Maka dari itu, kamu langsung kelihatan jago banget mengenali situasi dan kondisi seseorang.
Jelas Melihat Sudut Pandang Orang Lain

Sumber Gambar : americanexpress.com
Dalam Solomon’s Paradox, ada penalaran yang bikin kamu menjadi bijaksana, seperti berikut:
- Self-Immersed
Saat menalar dengan pemikiran ini, kamu jadi memposisikan diri sendiri sebagai orang yang mengalami kejadian tersebut. Misalnya, kamu merasa seakan, “Saya berulang kali disakiti oleh dia”, atau “Saya dibuat sedih karena dia”.
Self-Distanced
Kalau menalar dengan pemikiran yang ini, kamu jadi menempatkan diri sendiri sebagai orang ketiga di suatu permasalahan. Kamu seketika jadi bijak karena adanya self-distance ini. Kamu jadi berpikir, “Kenapa dia bisa merasa berulang kali disakiti?”, atau “Apa dia udah mencoba upaya lain biar nggak disakiti oleh mantannya?” Mau nggak mau, kamu pun secara otomatis jadi bijak.

Sumber Gambar : nature.com
Jadi, Solomon’s Paradox sebenarnya bukanlah kekurangan atau bahkan kesalahan di dalam diri kita. Justru, dengan adanya sudut pandang ini, seseorang bisa mengalahkan rasa egois yang ada di dalam diri sendiri, dan menggunakan nalar yang lebih bijak, sehingga pemikiran jadi matang karena penuh dengan pertimbangan. Maka dari itu, kamu pun jadi objektif saat menilai suatu masalah. Kamu jadi nggak terlalu terbawa emosi ketika menghadapi sesuatu.
Perlunya Bercerita ke Orang Lain

Sumber Gambar : jes.edu.vn
Sekarang kalau dibalik posisinya, yaitu saat kamu sendiri yang mengalami masalah. Bisa jadi permasalahan tersebut emang cukup serius. Jadi, kamu pun perlu buat curhat. Nggak apa-apa banget, karena curhat sebenarnya penting. Paling nggak, kamu bisa merasa lebih lega, sekaligus mendapat insight buat masalah kamu.
Kalau diperlukan, dan kamu emang harus ngobrol tentang masalah kamu dengan sudut pandang subjektif, coba aja konseling dengan psikolog. Jadi, kamu mendapat bantuan profesional buat menemukan insight, untuk mencari solusi dari masalah kamu. Nah, jadi, begitulah sekilas tentang Solomon’s Paradox. Semoga bermanfaat, ya.