
“Tenang, cobaan ini tak mungkin melebihi kemampuanmu”
Jika dirinya mampu, lantas kenapa dia merasa terpuruk? Hal tersebut yang ada di dalam pikiran kenalanmu yang sedang tertimpa masalah. Menurut Barbara Held, seorang profesor psikologi dari Bowdoin College, Amerika Serikat, toleransi rendah untuk orang-orang yang sedang terpuruk serta sulit melihat sisi positif dari suatu kejadian yang buruk, itu sudah menjadi hal yang umum dalam budaya masyarakat. Kenyataannya, ini justru menyusahkan orang yang baru saja mengalami peristiwa buruk tersebut.
“Aku juga pernah mengalami hal ini, semangat ya”

sumber: pexels.com
Membandingkan hal buruk yang dialami seseorang dengan kejadian serupa yang pernah terjadi padamu adalah sesuatu yang tidak mengenakkan. Tidak semua orang memiliki respon yang sama terhadap suatu kejadian. Jika orang tersebut kamu paksakan untuk merasa bahwa dia kuat, karena orang lain juga pernah mengalami hal serupa, maka dia justru akan menyalahkan dirinya sendiri. Sebab, dia merasa tidak bisa bersikap sesuai ekspektasi. Namun, bukan ekspektasinya sendiri, melainkan ekspektasi dari masyarakat. Alih-alih bersemangat, dia akan merasa tidak berguna.
Sikap yang Tepat dalam Berempati

sumber: unsplash.com
Terkadang kita sendiri tidak menyadari bahwa ucapan serta ucapan yang kita kira baik, malah sebenarnya adalah toxic positivity yang membuat orang yang sedang tertimpa kemalangan merasa semakin terpuruk. Sebab, kita membuat dia merasa semakin tak berdaya, rapuh dan gagal dalam memenuhi ekspektasi orang-orang. Menurut dr. Jiemi, ketika seseorang habis terkena musibah maka bukan dorongan semangat yang dia butuhkan. Alih-alih mengajak orang tersebut untuk berpikir positif, hal yang perlu kamu lakukan adalah mendengarkan semua keluh kesahnya tanpa perlu menghakimi. Berikan dia kesempatan untuk bicara dan bercerita tentang semua yang dia rasakan. Biarkan orang tersebut mengungkapkan emosi dan perasaannya. Inilah yang sebenarnya dia butuhkan.